Minggu, 28 Agustus 2011

RIWAYAT SINGKAT PERJUANGAN KI BAGUS BADRANALA DAN TUMENGGUNG KALAPAKING

Ilustrasi Raden Adipati Aria Arungbinang VII (1930). Sumber Internet

Tahun 1584.
Putri Pembayun (putri Panembahan Senopati di Mataram, kawin dengan Ki Ageng Mangir (Ki Wanabaya).

Tahun 1584.

Putri Pembayun melahirkan putranya, diberi nama Madusena, lahir di keraton Mataram. Oleh pengikut setia Ki Ageng Mangir, Madusena lalu dicuri dan disembunyikan dan dibesarkan di kademangan Karanglo.

Tahun 1605.

Ki Maduseno kawin dengan Dewi Majaji dan berputra KI BAGUS BADRANALA. Ki Bagus Badranala ini kemudian berguru kepada Ki Anjar Kyai Geseng di Gunung Geyong.

MATARAM JAMAN SULTAN AGUNG.

Tahun 1624.

Pada saat mempersiapkan Tentara Mataram menyerang Kompeni di Jayakarta/Batavia Ki Bagus Badranala diberi tugas membantu Ki Suwarno membeli bahan pangan dari penduduk setempat untuk persediaan makanan tentara Mataram.

Tahun 1627.

Lumbung pangan didirikan di Panjer.

Tahun 1628.

Ki Bagus Badranala diangkat sebagai prajurit pengawal pangan ke Jayakarta.
Ki Suwarno diangkat menjadi Bupati Pangan/Logistik di Panjer (Bertempat di kompleks bekas pabrik Sari Nabati/Nabati Yasa sekarang).
Upeti atau pajak yang harus masuk ke Mataram agar diwujudkan dalam bentuk bahan pangan untuk persediaan penyerangan berikutnya dan semuanya ditampung di Panjer.

Kabupaten yang sudah ada pada waktu itu.
1.      Kabupaten Bocor.
2.      Kabupaten Panjer Gunung,
3.      Kabupaten Panjer Roma.
4.      Kabupaten Kaliwiro.
5.      Kabupaten Tunggara.
6.      Kabupaten Banjar.
7.      Kabupaten Kutowaringin.
8.      Kabupaten Mandiraja.
9.      Kabupaten Sigaluh.
10.   Kabupaten Banyumas.

Tahun 1641.

Ki Bagus Badranala mengawal pangan ke Jayakarta/Batavia dalam rangka penyerangan yang ke II. Sesampai di sana ia diangkat menjadi Senapati Perang di sayap Hutan Kayu (Jayakarta Tenggara). Dan dapat menggempur benteng Solitude. HIngga menyebabkan Belanda mengalami banyak kekalahan. Kemudian lari dan masuk ke dalam Benteng Pendem (sekarang kompleks Masjid Istiqlal Jakarta). Dalam pengepungan ini tentara Mataram banyak yang terserang penyakit diare hebat lalu mundur.

Tahun 1642.

Panjer dijadikan Kabupaten Ketataprajaan, sejajar dengan Kabupaten Bocor.
-         Ki Bagus Badranala ditempatkan di Roma.
-         Bupati Suwarno ditempatkan di Gunung.
Kemudian dari Mataram timbul istilah Panjer Roma dan Panjer Gunung.
(Kanjengan Kabupaten Roma , sekarang menjadi Pasar
           Tumenggungan).

Tahun 1643.

Serombongan Kompeni Belanda mendarat di pantai Karanggadung, Petanahan dengan tujuan untuk menghancurkan lumbung pangan tentara Mataram di Panjer. Tentara Kompeni dapat dihalau oleh Ki Bagus Badranala, dibantu oleh Ki Nalapraya dan Anjar Kyai Geseng. Sehingga tentara Kompeni kembali ke kapalnya. Atas jasa-jasa, dari Mataram KI Bagus Badranala diangkat menjadi KI GEDE PANJER ROMA. Jadi Bupati Panjer Roma juga memiliki sebutan KI Gede Panjer Roma ( ke I).

Tahun 1670.

Pangeran Bumidirja, pangeran dari Kerajaan Mataram lolos dari Praja Mataram. Berjalan kea rah barat hingga sampai di Panjer Roma yang pada waktu itu diperintah oleh KI GEDE PANJER ROMA II (Ki Hastrasuta yang merupakan putra Ki Gede Panjer Roma I yang nomor 2/ terhitung canggah dari Panembahan Senapati). Pangeran Bumidirja diterima oleh beliau dan diberi tanah disebelah utara Sungai Luk Ula dan menamakan dirinya Ki/Kyai Bumi.
Padepokannya kemudian terkenal dengan sebutan Ka Bumen. Sekarang dibekas padepokan tersebut didirikan Pendapa Rumah Dinas Bupati Kebumen (Kel. Bumirejo = Bumi kang Rejo).

Tahun 1677.

Trunayuda menduduki Keraton Mataram. Sunan Amangkurat Agung menyingkir ke barat dengan tujuan Kesultanan Cirebon untuk minta bantuan diikuti oleh Pangeran Puger, Pangeran Singosari dan KI Mertosono. Pada malam Selasa Kliwon tanggal 26 -06-1677 M, kebetulan kala itu hujan lebat. Rombongan Kanjeng Sunan sampai di rumah Ki Gede Panjer Roma III (Ki Kertawangsa), dan diterima dengan baik. Kanjeng Sunan menginginkan Air Kelapa muda untuk obat haus dan lelah. Tetapi oleh Ki Gede diberi kelapa tua. Waktu itu juga beliau menginginkan daging kelapanya. Sehingga Gede terus terang bahwa yang disajikan itu kelapa kering (aking). Tetapi Kanjeng Sunan tidak murka bahkan memuji Ki Gede atas kesaktiannya. Dengan air kelapa aking dapat menyembuhkan rasa sakit dan lelah bagi Kanjeng Sunan dan rombongan. Maka atas jasanya Ki Gede diangkat menjadi Adipati Panjer dengan gelar TUMENGGUNG KALAPAKING dari asal kata kelapa aking.
Pada bulan Aeptember 1677 akhirnya Sunan Mangkurat Agung wafat di desa Ciyoyom dan dimakamkan di Tegalarum.
Selanjutnya Pangeran Adipati Anom yang seharusnya menggantikan kedudukan beliau dan naik tahta di Mataram, justru bermaksud akan naik haji, sementara Pangeran Puger ditugaskan merebut kembali tahta Mataram dari tangan Trunayuda.

Tahun 1678.

Sekembalinya dari Cirebon, Pangeran Puger yang disertai oleh Pangeran Singosari, Mertosono dan Tumenggung Kalapaking I menyusun kekuatan di Panjer (dari 5 kabupaten). Para pemuda Panjer dilatih keprajuritan oleh 3 Pangeran dari Mataram tersebut. Tempat latihan di Kademangan Wawar desa Karang yang diperintah oleh Ki Warganaya. Desa Karang (tempat latihan) itu kemudian dibangun dan dijadikan Kota Diwewangun yang kelak kemudian berubah menjadi Kutowinangun seperti sekarang.
Pada bulan Juni tahun 1678 pasukan tentara Mataram berangkat dari Panjer bersama Pemuda Panjer yang dipimpin oleh Pangeran Puger, Pangeran singosari, Senopati Ki Mertosono, untuk merebut kembali tahta dari tangan Trunayuda dan berhasil. Akhirnya Trunayuda menyingkir ke Kediri.

Selanjutnya : Tanggal 25-11-1678 Pangeran Adipati Anom yang semula akan naik haji, kemudian diangkat oleh Kompeni Belanda menjadi Raja Mataram dengan Amangkurat Amral (dari kata Admiral). Sunan Amangkurat Amral dengan dibantu Kompeni dari Semarang mengejar Trunayuda sampai di Kediri. Dan tertangkap di Gunung Antang, mulai saat itu Kompeni resmi berkuasa di Mataram.

Setelah Sunan Amangkurat Amral bekerja sama dengan kompeni, banyak prajurit yang berasal dari Panjer tidak senang dan merasa tidak dapat bekerja sama. Akhirnya hamper separuh meninggalkan Mataram untuk kembali ke Panjer. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Tumenggung Kalapaking I untuk menaklukan daerah-daerah sekitar yang belum mau mengakui kekuasaan Panjer. Kemudian terbentuklah KESATUAN DAERAH PANJER.
Setelah berhasil, Tumenggung Kalapaking I lalu mengutamakan :
-          Pembuatan saluran irigasi.
-          Hutan yang berkelebihan lalu dicetak menjadi persawahan dan
pemukiman.
-         Mengangkat Demang, Panewu, Bekel yang baru.
-         Banyak pedagang manca dari daerah lain berdatangan,
kesemuanya ini dilaksanakan untuk kemakmuran rakyatnya.

Tumenggung Kalapaking I memerintah selama 33 tahun, kemudian diganti oleh Tumenggung Kalapaking II (Ki Mandingin).

Tahun 1833.

Tumenggung Arung Binang IV diangkat menjadi Bupati Kebumen oleh Kumpeni. Menempati rumah Katumenggungan Kalapaking V (sekarang kompleks Pasar Tumenggungan Kebumen). Tetapi tidak tahan/tidak kuat bertempat disitu. Maka dibangunlah rumah Kabupaten yang baru disebelah selatannya, sekarang kompleks RSUD dan ES BENING kini masuk desa Panjer.
Tetapi baru beberapa bulan ditempti, langsung dibumi hangus oleh KI Petut Gonowijoyo bekas senapati kepercayaan Tumenggung Kalapaking IV. Akhirnya Tumenggung Arung Binng IV menyingkir ke Kebejen Kutowinangun. Disitu beliau mendapat wangit agar membangun Kanjengan dibekas Padepokan Ki Bumi di desa Bumirejo. Maka dicarilah dukun Kebumen oleh ulama dari Kedungrandu yang bernama Kyi Ngabdul Jalal. Dan Kanjengan itu kini menjadi Rumah Dinas Bupati Kebumen.

Tahun 1842 -1849. (Terjadi kekuasaan kembar)

Antara :
-       Bupati Bupati Arung Binang IV yang berasal dari Sala dan
-       Patihnya yaitu Tumenggung Kalapaking V (R.M Sudirso) dari Panjer.
Setelah 5 tahun Tumenggung Kalapaking V menjadi patih Tumenggung Arung Binang IV, beliau sangat patuh dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga mendapat kepercayaan dari Asisten Residen Belanda.

Dalam kesempatan ini ia sempat menyelundupkan 300 pucuk senjata api dan disimpan oleh Ki Tanurekso (Putra Petut Gonowijoyo). Karena kompeni kehilangan 300 pucuk senjata tersebut maka kepercayaan kepada Tumenggung Arung Binang IV berkurang. Sebaliknya kepercayaan kepada Tumenggung Kalapaking v semakin meningkat. Maka terjadilah KEKUASAAN KEMBAR. Hal ini berjalan 7 tahun, yakni antara tahun 1842 s.d 1849.
Agar tidak terjadi dualism kekuatan, maka atas saran Sunan Paku Buwana agar diselenggarakan pemilihan kepemimpinan antara Tumenggung Arung Binang IV dan Tumenggung Kalapaking V.
-       Tumenggung Arung BInang V di Pendapa Kebumen.
-       Tumenggung Kalapaking IV di alun-alun.

Ternyata hasilnya sebagai beerikut :
-       Yang di Pendapa mendapat 16 orang.
-       Yang di alun-alun banyak sekali pengikutnya.
Sehingga kemenangan ada dipihak Tumenggung Kalapaking V.

Beberapa hal yang perlu menjadi catatan dalam peristiwa ini.
-         Demang Mertokondo ikut Tumenggung Arung Binang IV.
-         Setelah kemenangan ada dipihak Tumenggung Kalapaking V,
seharusnya yang menjadi Bupati adalah Tumenggung Kalapaking V.
Setelah masuk kanjengan, ternyata kompeni menghianatinya. Tumenggung
Kalapaking V hendak ditangkap akan tetapi dapat meloloskan diri
dan terus berjuang melawan kompeni.
-         Tumenggung Arung Binang IV tetap menjadi bupati.
-         Sebagai symbol kekuasaan tunggal, maka ditebanglah POHON
BERINGIN KEMBAR yang satunya yang berada di lun-alun.
-        Tumenggung Kalapaking V terus mengadakan perlawanan terhadap
kompeni Belanda dengan dibantu oleh Tumenggung Arung BInang IV
secara sembunyi-sembunyi. Tetapi Demang Mertokondo
menghianatinya, lalu “disumpahi” oleh kedua tumenggung itu. Akhirnya mati terbunuh, dan tubuhnya konon berbentuk bugel (mungkret), karena terkena kutukan dari kedua tumenggung tersebut. Kini makam Demang Mertokondo atau makam Si Bugel berada di Jetis, Kebumen.

Tahun 1849.

Akibat yang ditimbulkan oleh penangkapan Tumenggung Kalapking V oleh Belanda :
-         Prajurit Tumenggung Kalapaking V biarpun lebih banyak tetapi kalah
persenjataan (senjata tajam melawan senjata api). 
-          Belanda meminta bantuan ke Beneng Sumpiuh yang sudah
dipersiapkan lebih dulu.
-       Prajurit Tumenggung Kalapaking V mundur ke utara melewati Gunung Malang Kencana, melewati Gunung Tugel yang sempit. Setelah prjuritnya lewat semua, ditebaslah puncak Gunung Malang Kencana dengan keris saktinya. Gunung itupun akhirnya putus puncaknya (pogog) sehingga dikenal sebagai Gunung Pogog. Pada waktu itu Belanda sempat kehilangan 15 pucuk senjata api.
-     Belanda minta agar Tumenggung Arung Binang IV turun tangan dalam
peperang itu malam hari, tetapi tidak bersedia. Bahkan muslihatnya kemudian dikhianati oleh anak buahnya. Waktu itu Tumenggung Arung Binang IV mengutus Demang Mertokondo untuk berpura-pura menyelidiki pasukan Tumenggung Kalapaking V dengan isyarat sandi. Demang Mertokondo setelah keluar dari kanjengan lalu dibujuk rayu oleh kompeni, ia lalu menunjukan tempat persembunyin Tumenggung Kalapking V.
-       Pasukan kompeni Belanda menyerbu ke utara. BAru dalam perjalanan sudah diketahui oleh prajurit Tumenggung Kalpaking V yang sedang berjaga (kemit), kemudian membunyikan kentongan dengan nada titir (sehingga kelak desa ini bernama desa kemitir). Tumenggung Kalapaking V beserta Ki Tanurekso  lalu menyingkir (desa yang menjadi tempat persembunyian Ki Tanurekso kelak bernama desa Tanuraksan). Pasukan kompeni yang diiikuti Demang Mertokondo ini tidak berhasil. Demang Mertokondo tidak berani masuk ke kanjengan lagi, lalu ikut kepada Kompeni Belanda dan diberi pangkt Sersan.
-       Setelah terjadi kekuasaan tunggal, dengan ditebangnya Pohon Beringin Kembar sebagai symbol atau lambing kekuasaan tunggal kabupaten Kebumen dengan Tumenggung Arung Binang IV sebagai Bupatinya, lalu melaksanakan peperangan lagi dengan pasukan Tumenggung Kalapaking V, yang sebetulnya hanya merupakan siasat dalam melawan kompeni Belanda, dengan kenyataan sebagai berikut :
a.     Pasukan kompeni Belanda dibantu dari Benteng Sumpiuh dan
Purworejo.
b.     Pasukan Tumenggung Kalapaking v dibatu oleh pasukan
Kabupaten Sigaluh, dengan rencana perlawanan yang berurutan
atau bersambung (desa Karangsambung). Tenaga yang terkumpul 2000 orang.
c.      Utusan Tumenggung Arung Binang IV dating menghadap
Tumenggung Kalapaking V dengan menyerahkan bantuan uang untuk
biaya perang.

Pada saat perang besar terjadi Belanda dipimpin oleh : Mayor Verbrag,  Kapitan Arons, Kapitan Huster, Letnan Flissinger dan masih banyak opsir lainya.
Sedangkan dari pihak Tumengggung Kalapaking V dipimpin oleh : Tumenggung Kalapaking V sendiri, Ki Kertodrono (dari Sigaluh), RM. Dipodrono (dari Sigaluh) dll.

Setelah peperangan selesai.
-        Ki Dipodrono gugur dalam peperangan.
-        Mayor Verbrag, Kapitan Arons dan Huster serta Letnan FLissinger mati
dan dari luka-lukanya tidk mengeluarkan darah. Ternyata dibunuh oleh Tumenggung Arung Binang IV yang menyamar menjadi prajurit Karangsambung dengan menggunakn tombak pusakanya yang berasal dari Bulupitu yakni Naracabala.
-         Hari berikutnya opsir Belanda yang masih hidup melapor kepada
Tumenggung
Arungbinang IV tentang hasil peperangan.
-        Tumenggung Arung Binang IV mengirim surat tertutup kepada Mayor
Magilis yang datang di Kebumen yang isinya : Pasukan perang Tumenggung Kalapaking V terlalu kuat dan belum tentu dapat dikalahkan. Sebaiknya diadakan perdamaian dan perundingan dan Bupati Tumenggung Arung Binang IV sanggup menjadi juru penengahnya.
-       Maka diadakanlah perundingan antara  Tumenggung Kalapaking V dan pihak Kompeni Belanda di bekas Panjer Gunung. Selama perundingan, Mayor Magilis selalu menyebut-nyebut kata  “baniare”, yang artinya tidak dimengerti. Akhirnya tempat itu menjadi desa Baniara.

Tahun 1870. (Hasil perundingan)

Tumenggung Kalapaking V sanggup berhenti berperang apabila kedua anaknya (laki-laki) dijadikan Bupati Pemegang Wilayah. Hasil itu disetujui oleh Gubernur Jenderal Belanda tahun 1875, tetapi tempatnya tidak di Kebumen dan tidak boleh lagi menggunakan nama Kalapaking.
-         Pada tahun 1878 putra Tumenggung Kalapaking V yang bernama
Ki Atmodipuro diangkat Bupati Banjarnegara, bergelar Tumenggung Jayanagara I.
-         Putra yang lain yang bernama Ki Sukadis diangkat menjadi Bupati
Karangnyar bergelar Tumenggung Kertanegara. Setelah pensiun digantikan oleh putranya bergelar Tumenggung Tirtakusuma.
Pada tanggal 1-1-1936 Kabupaten Karanganyar dihapus, lalu dijadikan satu dengan Kabupaten Kebumen. Itulah yang kemudian sampai saat sekarang menjadi Hari Jadi Kabupaten Kebumen (bukan Kota Kebumen, penulis) 1 JANUARI 1936.

Naskah sumber  : Sadiyo dalam Babad Panjer dan Babad Kebumen 2006.
Disunting dengan perubahan seperlunya oleh : agustbedhe’

LEGENDA GUNUNG WURUNG, KEC. KARANGSAMBUNG


Gunung Wurung mujudake sawijining gunung cilik kang ana ing wewengkon desa Parang, Kecamatan Karangsambung Kabupaten Kebumen. Katitik saka wujude gunung iki kalebu ‘unik’/aeng amarga saka dhuwure kang udakara  mung 80 meteran lan ora nduweni  ‘puncak’ kang paling dhuwur.  Miturut masyarakat sakupenge kana, gunung iki digawe dening para dewa saka kahyangan.  Nanging sadurunge rampung anggone gawe gunung mau wis konangan manungsa sahingga para dewa banjur murungake anggone gawe gunung mau. Jangkepe crita legenda Gunung Wurung mangkene :
Gunung Wurung di Desa Parang Kec. Karangsambung

Nalika samana ana ing tlatah kang saiki kalebu wewengkon kecamatan Karangsambung ana desa cilik kang mujudake wewengkon awujud lemah kang lempeng utawa datar, ora ana siji-sijia punthukan utawa gumuk kang katon ing sakupenge kana.

Nuju sawijining wengi kang sepi nyenyet, lan swasana kang tintrim mau, para sesepuh desa katon nglumpuk nyawiji ndedonga menyang para dewa  ing kahyangan. Kanthi khusuk para sesepuh mau njaluk supaya digawekake gunung kang manggon ana ing sacedhake kana.  Ora kenyana panjaluke para sesepuh desa  mau dikabulake dening para dewa.  Malah miturut para dewa mau anggone arep nggawe gunung mau bakal diwiwiti dina sesuke lan bakal ambutuhake wektu sawengi. Nanging kanthi syarat/perjanjen ora kena sijia bae manungsa utawa warga ing desa kana kang kena meruhi nalika gunung mau digawe dening para dewa. Para sesepuh mau banjur nyaguhi syarat/perjanjen mau. Dina sesuke para sesepuh mau banjur ngumpulake para warga lan menehi kabar kang nyenengake mau marang kabeh warga ing desa kana kalebu syarat  utawa perjanjen kang kudu dileksanakake.

“Eee, para wargaku kabeh! Mangertia lan nuruta apa kang bakal tak prentahake marang kowe kabeh, menawa wiwit mengko sore wayah suruping srengenge, mlebua ana ngomahe dhewe-dhewe lan ora dikeparengake sapa bae kang metu ngomah nganti srengenge njedhul dina sesuke!” kandhane salah siji sesepuh desa kana.

“Nuwun sewu Bapa! Perkawis utawi alangan punapa ingkang badhe nemahi dhusun kita? Kenging punapa para wargi dhusun boten kenging medal saking griyanipun piyambak-piyambak” pitakone salah siji warga desa kanthi swara groyok lan bingung. 

“Mangertia para warga desa kabeh menawa para dewa kepareng arep nggawekake sawijining gunung kanggo awake dhewe  lan sijia ora ana kang dikeparengake meruhi anggone para dewa mau nyambut gawe nyipta gunung mau,” wangsulane saka sesepuh desa liyane.

Sawise krungu katrangan saka para sesepuh desa mau, para warga nembe mangerteni kenangapa dheweke ora dikeparengake metu saka ngomah. Nalika dina ngarepake wayah suruping srengenge, swasana desa wiwit sepi. Kabeh warga wis mlebu omahe dhewe-dhewe kepara lawang dikunci kanthi rapet. Ora antara suwe, para dewa saka kahyangan tumurun menyang desa mau saprelu miwiti nyambut gawe nyipta sawijining gunung ing wewengkon salore desa. Wiwitane para dewa ngedekake saka-saka kang bakuh utawa kuat.

Sawise saparo wengi nyambut gawe, para dewa wis rampung anggone mbangun saka-saka kasebut. Para dewa mung kari ngurugi lemah sahingga mengkone mujudake sawijining gunung. Para dewa nyambut gawe tanpa ana swara kumecap lan terus tumandang gawe nganti meh parak esuk tanpa rasa kesel. 

Nalika dina ngarepake esuk,  panggawene gunung mau meh rampung, mung kari ngrampungake anggone ngurugi lemah kang isih ana sisa sithik. Lan nalika para dewa isih ibut anggone nyambut gawe, dumadakan saka dalan kang tumuju desa, ana bocah wadon kang mlaku tumuju menyang kali Luk Ula kang mapan ora adoh saka papan anggone nggawe gunung mau. Tibake, bocah wadon mau ora mangerteni pawarta saka sesepuh desa ngenani larangan para warga metu saka omahe wengi kuwi. Awit, nalika pawarta mau diwetokake, dheweke ora melu kumpul lan ora ana warga kang menehi ngerti bab/perkara anggone para dewa arep nggawe gunung mau.

Bocah wadon mau teka lan tumuju menyang kali saprelu arep ngumbah/mesusi beras kanggo dimasak dina iku. Dheweke mlaku tanpa nggatekake kahanan sakiwa tengene awit swasana kang isih peteng. Nalika wiwit mecaki dalan cilik kang rumpil tumuju kali, dumadakan dheweke kaget awit ana sangarepe bocah wadon mau ana gunung.

“Hah, kenangapa dumadakan ana gunung ing kene, awit dina-dina sadurunge papan iku isih lempeng ora ana gununge. Aduh Dewa ! Apa aku ngimpi ya?” guneme bocah wadon kanthi swara lirih lan gumun ora percaya karo apa kang ana ing ngarepe.

Nanging, nalika meruhi akeh wewujudan kang medeni kang lumaku kanthi cepet sinambi nggawa watu-watu gedhe tanpa kumecap, bocah wadon mau banjur mlayu ninggalake kali kanthi kamiweden.

“Tuluuuuuuuung .. tuluuuuuuung. Tulungiiiiiiii aku! Pambengoke kanthi swara kang seru.

Bocah wadon mau terus mlayu tanpa maelu/nggatekake kahanan awake, sahingga beras kang arep dipesusi mau dibuwang ngono bae. Sahingga ndadekake beras mau wutah sadalan-dalan ana ing sakupenge gunung mau. Miturut crita beras mau banjur malih wujud dadi watu kang memper  wujude beras.

Para dewa kang krungu panjerite bocah wadon mau dumadakan kaget, dheweke padha mangerteni menawa pagaweyane nyipta gunung mau wis diweruhi manungsa.

“Warga ing desa kene wis kumawani nglanggar perjanjen kita. Ayo tinggalke bae  papan kene!” pambengoke salah sijine dewa menyang dewa liyane.

Pungkasane para dewa mau banjur ninggalake papan kana lan ngendheg anggone nyambut gawe bali menyang kahyangan. Kamangka anggone nyipta utawa nggawe gunung mau wis meh rampung, sahingga wurung panggawene gunung mau. Lan wong-wong ing kana banjur nyebut gunung mau kanthi sesebutan GUNUNG WURUNG. Watu-watu kang wujude kaya beras tekan saiki isih ana, miturut panaliten saka LIPI KARANGSAMBUNG watu mau disebut watu DIABAS lan dumadine gunung mau amarga saka watu intrusi, materi watu kang sadurunge arupa bahan cair, pijar, lan panas kang asale saka magma ing kandhutan bumi kang arep njedhul ana ing salumahe bumi, nanging kebacut adhem/”membeku” sadurunge kasil njedhul ana ing salumahing bumi. 


agustbedhe’ 2011.

BABAD AMBAL


Buku karangan R.M. Soeryo Winarso.
Diterbitkan oleh Penerbit Logawa, Purwokerta tahun 1941.

KERANGKA CERITA BABAD AMBAL.

1.  Kabupaten Ambal termasuk wilayah Bagelen yang menjabat Bupati bernama K.P.A.H. Purbanagara (1828 – 1872M). Kabupaten Ambal berlangsung dalam satu periode/selama hidupnya Bupati Purbanagara. Setelah Purbanagara meninggal dunia wilayah Bagelen dibagi tiga wilayah yaitu : (1) Kabupaten Kutoarjo (2) Kabupaten Kebumen (3) Kabupaten Karanganyar.
Ilustrasi Rumah  Orang Jawa Jaman Dulu. Sumber Internet

K.P.A.H. Purbanagara seorang Bupati yang bijaksana, hidupnya sederhana, sangat akrab dengan rakyatnya. Beliau mempunyai hamba/pengasuh kepercayaan yang ditugaskan mengasuh putra-putranya (Pupuh Sinom 1 -17).

2.      Pada jaman Mataram semasa pemerintahan Sinuhun Raja mempunyai selir bernama Mas Ajeng Tingkir, berputra bernama Raden Mas Semedi, anak itu kemudin diserahkan kepada Mangundipura agar diasuhnya baik-baik. Setelah dewasa Raden Mas Semedi bekerja sebagai Abdi Dalem. Pada jaman Perang Dipanegara Raden Mas Semedi meningglkan kraton mengungsi menuju daerah Kedu. Setelah sampai di Kebumen memakai nama samaran Mangunprawira.

Di daerah Ambal selatan atau daerah “Urut Sewu” terjadi huru-hara disebabkan oleh Gamawijaya (Puja Gamawijaya) dari desa Plempuk yang terkenal berani dan sakti. Pekerjaan sehari-hari sebagai perampok. Raja Mataram kemudian mengutus Pangeran Balitar agar menangkap Puja Gamawijaya. Tetapi Pangeran Balitar tidak berhasil menangkapnya. Kangjeng Gupermen mengumumkan sayembara barang siapa dapat menangkap brandal Puja Gamawijaya akan mendapat hadiah yang besar. Lurah desa Sijeruk yang bernama Wargantaka dan Andaga anaknya menyatakan bersedia menangkap brandal Puja Gamawijaya. Wargantaka telah mengetahui kelemahan-kelemahannya Puja Gamawijaya, karena teman seperguruan. Andaga diserahi tugas untuk menangkap Puja Gamawijaya (Pupuh Dhandhanggula : 1-2)

3.      Puja Gamawijaya semakin berang dan beringas melihat Andaga datang di medan perang. Perkelahian terjadi. Andaga selalu diamat-amati oleh ayahnya. Puja Gamawijaya datang ke desa Sijeruk, menantang adu kesaktian dengan Andaga dan Wargantaka. Andaga tidak tahan dengan ucapan Puja Gamwijaya. Akhirnya Puja Gamawijaya kalah, dibunuh dan kepalanya dipenggal (Pupuh Pangkur : 1-28).

4.     Kepala Puja Gamawijaya ditanam di tanah dekat pasar Bocor, dipakai sebagai pertunjukan. Hal itu dimaksudkan agar masyarakat tahu bahwa orang yang membuat onar telah mati dibunuh. Hadiah yang dharapkan Andaga bukan berupa uang, melainkan pangkat luhur yakni sebagai bupati. Permintaan Andaga dikabulkan, Andaga diangkat sebagai bupati Ambal dengan gelar Raden Tumenggung Purbanagara.  Berita kematian Puja Gamawijaya terebar diseluruh desa “Urut Sewu”. Masyarakt merasa lega , hidupnya aman dan tenteram. Pembangunan Kabupaten Ambal segera dimulai dengan cara bergotong-royong. Bentuk bangunan dibuat menyerupai kraton. (Pupuh Gambuh : 1-32).

5.     Mas Ajeng Sijeruk kakak perempuan Andaga diambil sebagai selir, karena jasanya yang sangat besar. Istri muda bernama Raden Ayu Anom berasal dari Ayah. Jumlah selir ada sembian, sedang anaknya semua 16 orang yakni :

1.      Raden Ayu Mangunreja, kawin dengan Mantri Kabupaten Ambal.
2.   Raden Mas Riya Mangunprawira, menjabat Mantri di Kabupaten
      Kebumen.
3.   Raden Bei Mangunwinata.
4.   Raden Ngebei Citradimeja, menjabat Kolektur di Ambal, kemudian    
      diangkat  sebagai Bupati  Trenggalek.
5.   Wijayakusuma.
6.   Gandadimeja.
7.   Raden Jayakusuma, sebagai Mantri Enom.
8.   Raden Ayu Khaji Mgaisah, nama kecil Raden Ajeng Sinthing kawin
      dengan Raden Ngebei Atmadipura.
9.   Raden Ngebei Purbakusuma,menjabat Demang Bonang di Bantul
      Yogyakarta.
10. Raden Ayu Idris.
11. Raden Ayu Cakradipura.
12. Raden Ayu Partadipura, menjabat sebagai asisten.
13. Raden Ayu Purbaatmaja, kawin dengan penguasa di Kutoarjo.
14. Raden Ratsil.
15. Raden Ayu Abdul Gani, kawin dengan penghulu.
16. Raden Ayu Dipaprawira,menjadi Mantri Guru Kweekschool di
      Magelang.
    Keturunan Ambal (1828-1941M) yang terakhir bernama Kangjeng  Wijayakusuma,  nama
kecil bernama Raden Maryuni menjabat Bupati di Purbalingga, kemudian dipindahkan ke
Trenggalek. Kangjeng Purbaatmaja putra Mas Ayu Godong mempunyai  cucu  putri kawin
dengan Jayanegara Bupati Banjarnegara yang kedua.

Putra-putri Mas Ayu Sinthing kawin dengan Tumenggung Purbaatmaja Bupati Kutoarjo.
Cicitnya kawin dengan Kangjeng Prawirawijaya Wedana Campurdarat Kediri.
 -  Cicit putri kawin dengan Zarwis atau Purbaatmaja Adisurya Bupati Kendal.
-   Cicit putri kawin dengan Tumenggung Arung Binang ke (?) Kebumen.
-   Cicit putri kawin dengan Kangjeng Sumitra Kolopaking Banjarnegara.

Keturunan Bupati Ambal ternyata banyak yang menjabat Bupati tersebar di pulau Jawa.
(Pupuh Mijil : 1-23).

6. Kabupaten Ambal berdiri tahun 1828M jaman perang Dipanegara. Sebelumnya yang menjabat Bupati bernama Kanjeng Pangeran Balitar, setelah pensiuan gedung kabupaten dirusak. Tahun 1828 gedung dibagun lagi jaman Bupati Purbanagara. Istri dan selir bupati Purbanagara semua ada sembilan, satu diantaranya tidak berputra, yakni istri yang terakhir anak seorang haji dari Ambal. 

Istri dari Kangjeng Sinuhun Banguntapa Yogyakarta berputra dua orang, yakni :

1.   Raden Ayu Mangunreja.
2.   Raden Riya Mangunprawira.
     
Raden Ayu Anom dari ayah berputra seorang bernama Raden Mangunwinata.
Istri yang berasal dari Karangluwas Purwakerta bernama Mas Ajeng Citra, beputra dua orang, yaitu :
1.   Raden Bei Citradimeja.
2.   Raden Ajeng Trenggalek.

Istri dari Semarang berputra satu, yaitu Raden Bei Gandadimeja.
Adapun selir yang besar jsanya yaitu Mas Ajeng Sijeruk berputra dua, yaitu :
1.   Raden Jayakusuma.
2.   Raden Ayu Trenggalek.

Istri dari Puring berputra dua, yaitu :
1.   Raden Ayu Cakradiwirya.
2.   Raden Ayu Partadipura.
3.   Raden Ayu Purbaatmaja.
4.   Raden Potsil.

Istri dari Tanggulaangin bernama Raden Nganten Pulangyun berputra dua, yaitu :
1.   Raden Ayu Abdulgani.
2.   Raden Ayu Dipaprawira, guru Kwekschool di Magelang.

Selama Bupati Purbanagara menjabat di Ambal didampingi oleh asisten Residen O Van Roes, yang kemudian diangkat sebagai Gubernur Jendral di Batavia (1884-1888M). Hubungan Purbanagara dengan O Van Roes sangat baik, hingga Purbanagara mendapat gelar “Adipati Harya”. (Pupuh Asmaradana : 1-26).

7.    Bupati Ambal hidupnya sangat sederhana. Putra-putrinya tidak ada yang dimanjakan. Salah seorang putranya yang bernama Raden Mas Maryuni pernah magang menjadi pegawai Gupernuran di Batavia, bertahun-tahun tidak diangkat, disuruh pulang ke ambal. Dengan ketaatan dan ketekunan, akhirnya Raden Mas Maryuni diangkat menjadi bupati di Prabalingga Jawa Timur, kemudian dipindahkan ke Trenggalek, bergelar Kangjeng Wijayakusuma.

Putri Raden Ajeng Sinthing kawin dengan Mas Ngebei Atmadipura Wedana Soka Kebumen, berputra seorang lalu cerai, kembali ke Ambal.
Ngabei Atmadipura diagkat menjadi Bupati Banjarnegara, bergelar Raden Adipati Tumenggung Jayanagara, kawin dengn adik bupati Purwareja berputra seorang bernama Raden Mas Sutapa.

Putra laki-laki Raden Ajeng Sinthing menggantikan kedudukan ayahnya di Banjarnegara bergelar Tumenggung Jayanagara II, kawin dengan saudara sepupu dari Ambal, berputra laki-laki bernama Mangunprawira, menjabat Mantri di Kebumen.
Setelah menjanda Raden Ayu Sinting kawin dengan Raden Khaji Umar. Kemudian naik haji berganti nama Ngaisah Dyan Ayu Kaos. (Pupuh Megatruh: 1-28).

8.  Jaman pemerintahan Amangkurat Agung terjadi pemberontakan Trunajaya. Mangkurat Agung meninggalkan Mataram ke arah barat lewat Kebumen. Di Kebumen Mangkurat Agung jatuh sakit, raja minta minum air kelapa muda. Mas Ngabei Kertawangsa menyediakan air kelapa kering. Sang raja terkejut, karena tidak sesuai dengan yang dikehendaki. Setelah air kelapa itu diminum, rasanya bagaikan air kelapa muda dan dengan minum air kelapa itu raja sembuh dari sakit yang dideritanya. Maka hati raja sangat berkesan. Sebagai rasa terima ksih dan untuk mengingat peristiwa itu Ngabei Kertawangsa diberi nama tambahan “Kalapaking” menjadi Ngabei Kertawangsa Kalapaking dan diberi putri “triman”, bernama Raden Ajeng Sri Mulat. Raja melanjutkan perjalannya. Setelah sampai di daerah Tegal kambuh lagi penyakitnya. Raja berpesan, jika mennggal dunia mohon dimakamkan pada tempat yang harum baunya. Maka tempat itu disebut Tegalarum.    

    Bupati Ambal berbesan dengan Kangjeng Jayaningrat bupati Karanganyar putra Kangjeng Pangeran Murdaningrat putra Hamengku Buwana II. Setelah pensiun bertempat tinggal di Sepuran. Putranya diangkat sebagai bupati di Wanasaba. Sejak masa itu Wanasaba di bawah pemerintahan keturunan Murdaningrat dan Kalapaking.

Bupati Ambal mengadakan kunjungan kepada Tuan Mayor Bee Bee Cwan di Semarang. Pada perjalanan pulang Purbanagara singgah di Bandongan. Setelah tiba di Magelang Bupati Ambal menuju ke gedung Residen Kedu bertemu dengan Kangjeng Tuan O Van Roes, melaporkan bahwa Wedana Bandongan sudah lanjut usia  dan sudah sepantanya kalau mendapat penghargaan dari pemerintah. Akhirnya wedana Bandongan dinaikan pangkatnya menjadi patih. (Pupuh Durma:1-26).

9.    Ajaran tentang hidup di dunia. Orang hendaknya selalu ingat kepada Tuhan. Jangan hanya mengejar harta kekayaan. Jangan mabuk pangkat dan kekuasaan. Jangan mudah putus asa dalam usaha. Sebagai contoh adalah putra Ambal sendiri yang bunuh diri akibat lamarannya ditolak oleh seorang putri Tumenggung. Sebaliknya ada putra bupati Ambal yang tidak pernah putus asa dalam perjuangan hidup, yakni Kangjeng Jayakusuma yang mengabdi mulai pangkat rendah hingga berhasil menjadi bupati Trenggalek Jawa Timur. (Pupuh Dhandhanggula : 1-23)

10.  Cucu bupati Ambal Raden Mas Suraja, juru tulis kontroler dengan diam-diam meninggalkan Ambal, karena melakukan kesalahan memotong bulu ekor kuda milik kakeknya. Raden Mas Suraja pergi ke arah barat ingin berguru ngaji. Raden Mas Suraja menyamar dengan berganti nama Mangunmustapa. Setelah beberapa lama Mangunmustapa diangkat menjadi carik disuatu desa di daerah Banjarnegara. Tugas utama adalah mendampingi lurah bila menghadap ke Kawedaan. Lama kelamaan bupati Banjarnegara mengetahui bahwa Mangunmustapa adalah cucu bupati Ambal yang pandai menari. Raden Mas Suraja (Mangunmustapa) lalu diantar pulang ke Ambal.

Cucu bupati Ambal putra Raden Mas Harya Mangunprawira yang bernama Raden Mas Gecul, mempunyai bakat melawak, dewasanya menjabat di Kalijajar daerah Wanasaba.
Cucu bupati Ambal yang menjadi istri bupati Kebumen pandai berulah seni, mendirikan perkumpulan “Wayang Wong cilik”. Bupati Ambal adalah seorang pengarang dan penulis kitab bertembang Macapat, tetapi tidak ada para putranya yang melanjutkan.

Oleh pemerintah Gupermen Kabupaten Ambal akan dihapus. Bupati Ambal akan dipindah ke Surabaya, tetapi tidak bersedia.

Bupati Ambal wafat pada tanggal 7 maret 1871M, dimakamkan di desa Bener. Sepeninggal bupati Purbanagara daerah Bagelan dibagi menjadi tiga, yaitu :
      1.   Kabupaten Kutoarjo.
      2.   Kabupaten Kebumen.
      3.   Kabupaten Karanganyar.

      (Pupuh Sinom : 1-23)

BABAD SRUNI

Kacarios kala ing Negari Mataram ingkang jumeneng Nata Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Prabu Mangkurat Agung, ing tanah Panjer wonten satunggaling Bupati Sruni, nama Mas Tumenggung Pramonca ugi ing Sruni. Dene Tumenggung Pramonca putranipun Ki Mas Monca. Sareng Ki Monca jinunjung dados Pepatih Dalem ing Pajang, lajeng nama Harya Moncanagara. Dados Mas Tumenggung Kertinegara ing Sruni, punika wayahipun Papatih Dalem ing Pajang Harya Moncanagara.

Wondene putranipun Mas Tumengngung Kertinegara ingkang medal saking mBok sepuh wonten tiga, jaler kalih estri satunggal. Ingkang sepuh nama Kertileksana, lajeng Ki Kertisentika, wuragilipun estri nama Mas Rara Rinten. Putra ingkang saking mbok enem, ingkang kacariyosaken naming satunggal estri, nama Mas Rara Ranti. Dados ingkang kocap ing ngriki, putranipun Mas Tumenggung Kertinegara wau naming saskawan, jaler kali, estri kalih.

Putra jaler kakalih Ki Kertileksana lan Ki Kertisentika wau sami kaserenan kasekten linangkung, boten pasha tapak paluning gurenda tuwin tajeming badama, berkuwanen saha wanter ulah kridhaning aprang, dasar sugih kagungan.

Ing saben dinten tansah anggladhi ulah dadamel tuwin pasang gelaring ngayuda dating para mantri, demang saandhahanipun sadaya, punapa dene dhateng para kawula prajurit arahan. Amila para Tumenggung, mantri demang saandhahanipun ing sakiwa tengenipun ngriku sami erring dhateng Mas Tumenggung ing Sruni.

Mas Tumenggung Kertinegara sanget renaming nggalih, dene putranipun kakalih sami kasinungan kadigdayan tuwin kaprawiraning ngadilaga. Mila lajeng tuwuh gagasanipun, sumedya mirong Kampuh jingga, boten badhe caos bulubekti tuwin sowan dhateng Karaton Mataram.

Mas Tumenggung ugi mangertos bilih ambalela ing Ratu Gustinipun punika nama nista. Ananging sarehning rumaos boten saged ngendak nepsunipun, badhe kados pundit kemawon kawusananipun ing tembe, inggih badhe linampahan. Sukur saged manggih kamulyan, pancen punika ingkang kinajengaken. Dene yen lepat, sanadyan manggih papa sangsara, agengipun dumugining pejah pisan, ugi badhe dipun andemi kanthi eklasing manah. Mila makaten margi Mas Tumenggung sampun boten saged njabili sedyanipun, jalaran saking angengeti dhateng Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Prabu Mangkurat Agung ing Mataram wau sanget daksiya tanpa welas dhateng para kawula. Pangastaning paprentahan boten adhil, kathah kemawon para santana tuwin abdi Dalem, punapa dene para kawula ingkang kapatrapan paukuman pidana boten satimbang kaliyan dosanipun. Para Santana Daelm tuwin Bupati, Mantri saandhahanipun, punapadene para kawula, sami kekes tintrim miris aketir-ketir, bilih wonten kalintuning tindak, sanadyan, sanadyan boten kajarag pisan, temtu badhe nampi pidananing Nata.
Ing satunggaling dinten Mas Tumenggung Kertinegara nimbali putranipun kaualih, sareng sampun sami sowan, Ki Tumengggung ngandika : thole anak-anakku, andadekake bungahing wong ngatuwamu, dene saka panyawangku, kowe sakarone wus padha miyatani ngrampungi gawe saupama ing sawektu-wektu padha dakpasrahi panggawe kang luwih abot, iya marga saka kaprawiranmu ing ngajurit. Kang dadi sedyaku mau wus dakrendhem suwe ana ing sajroning ati, ing saiki bakal dakwedaharake marang kowe kabeh. Satemene bae, wong ngatuwamu sumedya ambalela ing Sang Prabu Mataram. Mungguh saka rembugmu sakarone kepriye, apa iya padha ngrujuki, mara nuli matura aja nganggo ewuh pakewuh. Putra kaualih matur sasarengan : ing saderengipun rama medharaken punapa ingkang dados pagedonganing karsa, ingkang putra sampun sami mangertos, mila inggih sampun sami jagi-jagi ing saderengipun, enjing utawi sonten sampun sumekta, kantun ngetnosi dhawuhipun rama kemawon. Ingkang rama : iya banget panarimaku, dene kowe padha ngemen-emenake lan nyumurupi marang pasang semuning kakarepane wong tuwa.

Ing wektu punika Mas Tumenggung Kertinagara kajawi kaadhep putra kakalih, Lurah prajurit Ki Sutamenggala, andel-andelipun Ki Kertileksana ingkang sanget pinitados ugi tumut sowan, mila inggih lajeng kapundhutan titimbanganipun Rembang. Ki Lurah Sutamenggala matur : O, Kiyai Tumengggung, ing saderengipun ingkang abdi matur, bilih atur kula ing mangke boten saged kadhahar, keparenga Kiyai Tumenggung amaringana pangapunten dhateng ingkang abdi. Menggah saking pamanggih kula, sampun dados ila-ila wiwit ing jaman Ratu Gustinipun, punika ing tembe wingkingipun boten prayogi kadadosanipun. Awit jumenengipun Ratu punika sanjata saking wahyu paparingipun Pangeran piyambak, margi Ratu wau kakarsakaken dados wawakilipun, mila Ratu lajeng kasebut Kalifatulah. Dene yen Ratu wau nerak jenenging Kalifatulah, mangertosipun boten jejeg pangastanipun pengadilan sarta boten welas asih dhateng para kawula, punika pangeran piyambak ingkang badhe midana dhateng Sang Prabu. Atur kula punika namun saleresipun kemawon ingkang medal saking manah suci, boten pisan-pisan mambengi karsanipun Kiyai Tumenggung. Dene yen aturipun ingkang abdi ingkang makaten wau boten kadhahar, kula inggih namun ndherek cumadhong dhawuh, sarta badhe kula labeti kanthi angetohaken nyawanipun ingkang abdi Lurah Sutamenggala punika.

Sareng Mas Tumenggung Kertinagara mireng aturipun Lurah prajurit Sutamenggala, ing batos Mas Tumenggung ngalembana dhateng pratitising aturipun, pancen leres mekaten punika. Sanadyan makatena, bawanipun Ki Tumenggung sampun kapanjingan kamurkan, rumaos boten saged ngendhak hawanepsunipun anggenipun badhe madeg pribadi boten kaereh ing Mataram, amil sedyanipun Mas Tumenggung Kertinegara inggih badhe kalajengaken. Wasana lajeng ngandika dhateng putranipun : thole, anakku karo, mungguh ature si Sutamenggala iku ora kena diunggahi, pancen iya bener mangkono iku.

Kajaba iku wus kasebut ing ndalem wirayat, sing sapa kanggonan pusaka Kanjeng Kiyai Jabardas, yaiku kang kawahyon pinasthi jumeneng Nata ing Tanah Jawa. Dene ing saikine, Kanjeng Kiyai Jabardas mau dadi pusaka Karaton Mataram. Mula saka iku, dak enggo pasanggiri, yen aku bisa njupuk Kanjeng Kiyai Jabardas saka sajroning Karaton Mataram, iku pratandha aku kaidenan jumeneng Nata, yen mangkono Kraton Mataram enggal dak gepuk prang. Dene yen ora bisa njupuk Kanjeng Kiyai Jabardas, sedyaku ambalela ing Ratu dakwurungake, sarta aku enggal sowan seba ing ngarsane Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan. Bisa lan orane  njupuk Kanjeng Kiyai Jabardas mau, dakwangeni suwe-suwene 3 taun lawse. Wangenan 3 taun mau ngiras tata-tata kapurantining ngayuda, sarta ngulid kridhaning ulah paprangan marang para wadyabala ing Sruni kabeh, supaya semangsa-mangsa tempuking gawe angrabaseng mungsuh ora nguciwani. Mara saiki pulunanku si Trunayuda enggal timbalana, bakal dakpasrahi pagaweyan kang luwih gawat, lumaku marang Mataram.

Boten antawis dangu Ki Trunayuda sampun sowan, inggih pun kadhawuhan punapa ingkang dados wigatosing karsa, inggih punika kinen lampah sandi-upaya dhateng Mataram, andhusta pusaka Dalem Kanjeng Kiyai Jabardas. Sasampunipun wineling-weling pamrayogining lampah, Ki Trunayuda lajeng pangkat dhateng Mataram.

Boten kacariyos roroncening lamapah, enggaling cariyos Ki Trunayuda sampun suwita ing ngarsa Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Mataram. Panggalih Dalem Ingkang Sinuwun langkung rena nampeni pasuwitanipun tiyang saking Sruni pun Trunayuda, margo badhe angsal katerangan-katerangan menggah kawontenanipun Tumenggung Kertinegara ing Sruni, jalaran Ingkang Sinuwun sampun midhanget pawartos pambalelanipun Tumenggung Sruni. Menggah anggenipun Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan angabdekaken tiyang saking Sruni wau nama kainan sanget, margi boten titipriksa lan ngawekani lampah dom sumuruping toya.

Pangabdinipun Ki Trunayuda kacelak sanget dening Sang Prabu, tetep abdi kinasih. nCilalah sanadyana Ingkang Sunuwun sampun wuninga dhateng pambangkangipun Tumenggung Sruni, teka penggalih  Dalem sepen boten ngawekani bilih pangabdinipun tiyang Sruni wau saking pandamelipun Tumengggung Kertinegara.

Ki Trunayuda tansah ambudidaya, kadospundi sagedipun nundukaken kaculikanipun. Sarehning wonten ing salebeting Karaton boten wonten ingkang nyurigani, mila kalayan gampil pamendhetipun pusaka Dalem Kanjeng Kiyai Jabardas wau. Sareng sampun kapendhet, enggal-enggal kabekta kesah mantuk dhateng Sruni, lampahipun ing wnaci tengah ndalu bidhal saking Mataram. Boten kacariyos lampahipun margi, Ki Trunayuda sampun dumugi ing Sruni terus sowan Mas Tumenggung Kertinegara. Kapetang wiwit pangkat ngantos mantukipun Ki Trunayuda dumugi ing Sruni, laminipun saweg kalih taunan.

Kados punapa kemawon bingahing manahipun Mas Tumenggung Kertinegara, sayekti tanpa pipindhan, ciptaning manah nagari Mataram sampun karegem ing ngastanipun. Mila lajeng nimbali putranipun kakalih. Sareng sampun sami sowan lajeng ngandika : thole, kang dakgawe pasanggiri yaiku pusaka Dalem Kanjeng Kiyai Jabardas, saiki wus kena kaboyong marang Sruni, lah iki rupane. Ing saiki bakal dakleksanani anggonku ambalela ing Ratu lan tumuli ambedhah ing Mataram. Mula tumuliya siyaga ing gawe aja nganti nguciwani. Yen wus sumekta enggal budhalan angingirup tanah sakiwa tengene Sruni kene dhisik. Para Mantri lan Bupatine teluknya dhisik, yen bangga lunasan. Ingkang putra nyandikani, enggal ambidhalaken wadyabala.

Saweg salapan dintenan kemawon saking angakting wadyabala Sruni, para Tumenggung saandhahanipun ing sakiwa tengen ing ngriku sampun sami nungkul, sarta kathah ingkang sami nungkul aris boten sarana linawan perang. Dhasar mamanahipun Mas Tumenggung Kertinegara berbudi sanget balaba, sae pangrengkuhipun dhateng sinten kemawon, sarta saged ngemong kawula, paunapadene saged mendhet manahipun tiyang kathah. Amila saweg setengah taunan kemawon saking pangramanipun, jajahanipun Mas Tumengggung Kertinegara ing Sruni sampun wiyar. Ingngih punika mangidulipun sampun dumugi ing pesisir kidul, mangilen dumugi tanah Roma, mengaler dumugi tanah Ledok (Wanasaba), dene mangetanipun meh dumugi tanah Kutawinangun.

Menggah pangramanipun Mas Tumenggung Sruni sampun kapireng saking Mataram, lajeng konjuk Sang Prabu, andadosaken dudukaning penggalih Dalem. Tumunten paring dhawuh dhateng putra Dalem Kanjeng Gusti Pangeran Adipati tuwin Kanjeng Pangeran Puger, punapadene dhateng Papatih Dalem, sami ndindakaken nyirep wontenipun kraman ing Sruni, upamia latu, mumpung dereng andados. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati matur sandika, tumunten badhe pangkat bobodolan, anindhihi wadyabala. Ing ngriku Kanjeng Gusti Pangeran Adipati munjuk, murih tumunten sireping kraman ing Sruni, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati nyuwun pusaka Dalem cangkingan Kanjeng Kiyai Jabardas.

Ingkang Sinuwun marengaken, lajeng utusan mundhut pusaka Dalem Kanjeng Kiyai Jabardas wau, nanging pinanggih sepen, kaupadosan ing gedhong panepen, papan ingkang kagem nyarekaken sadaya pusaka Dalem, sampun kaubres meksa boten pinangngih, tetela bilih sampun musna saking pasareyanipun.

Abdi ingkang kautus, munjuk ing ngarsa Dalem, bilih pusaka Dalem Kanjeng Kiyai Jabardas ing papan sumarenipun boten wonten, ingupadosan bokbilih sumare nunggil kaliyan pusaka Dalem sanes-sanesipun ugi boten pinanggih, tetela bilih pusaka Dalem wau sampun musna saking salebeting datulaya.

Sareng Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan midhanget unjukipun utusan Dalem wau, sanget kejot lan pangunguning penggalih Dalem, pangudaraosing nggalih, bilih Karaton kaoncatan kagungan Dalem pusaka wau, saestu ing Mataram badhe risak samangsa tinempuh ing mengsah.

Sang Prabu sanget kemengan ing badrairawan, temah tigang pandurat boten angandika, sakala binuka wewenganing panggalih Dalem, boten kasamaran malih bilih pusaka Dalem Kanjeng Kiyai Jabardas wau sampun wonten ing Sruni, margi kabekta dening abdi kinasih ingkang saking Sruni. Tetela bilih tiyang wau kengkenanipun Tumenggung ing Sruni, kinen andusta kagungan Dalem pusaka.

Sang Prabu alon angandika : putraningsun kaki Pangeran Pati lan pangeran Puger, apadene papatihingsun, marga saka musnane pusakaningsun Kiyai Jabardas, karsaningsun anyirep kraman ing Sruni becik kasumenekake dhisik. Sabab pusakaningsun saiki wus ana ing Sruni, yen ing Sruni linawan, ora wurung prajurit Mataram akeh kang kapara tiwas.

Karsaningsun, ing saiki ambudidaya, kepriye prayogane Bisan kondur pusakaningsun mau. Kiyai Patih munjuk : dhuh Gusti pupundhen kula Ingkang Sinuwun, abdi Dalem pun Patih kaparenga munjuk ing ngarsa Dalem Ingkang Sinuwun, bilih kapareng saha kapadhaning karsa Dalem Ingkang Sinuwun, prayogi utusan abdi Dalem alampah sandi dom sumuruping toya, abdi Dalem Demang Sutawijaya kayekten saged manjing ing agal lembat sarta kenging pinitados, mungguh sanget dados utusan nDalem, saking pangintenipun abdi Dalem pun Patih, kado-kados saged angonduraken pusaka Dalem ingkang oncat saking salebeting Karaton Dalem. Kanjeng Gusti Pangeran Adipati tuwin Pangeran Puger anyondhongi. Ngarsa Dalem Ingkang Sinuwun sanget suka pirenaning penggalih Dalem sareng midhanget unjukipun Rekyana Patih.

Saking kaparenging karsa Dalem murih boten ngatawisi ing lampah, Ki Demang Sutawijaya kapindhah dados Demang ing Kutowinangun, inggih punika tanah sacaketipun ing Sruni ingkang dereng karebat ing  kraman. Dhawuh timbalan Dalem Ki Demang ndikakaken boboyongan tumunten saanak semahipun dhateng Kutowinangun. Ing tembe yen saged angsal damel, saturun-turunipun badhe kamuktekaken.

Sarampunging dhawuh Dalem, Rekyana Patih kapareng mundur saking ngarsa Nata. Sadumugunipun ing dalem Kapatihan, enggal utusan nimbali Ki Demang Sutawijaya, sampun kerid sowan sesarengan salampahing utusan. Sadumuginipun ing dalem Kapatihan Kyai Patih mratelakaken bilih ngemban dhawuh timbalan Dalem Nata, KI Demang kimarsakaken lijer (pindhah) dados Demang wonten ing Kutowinangun. Milanipun Ki Demang kapindhah wau, menggah ingkang dados karsa Dalem, Ki Demang ndikakaken ngayahi dhawuh Dalem ingkang saklangkung awrat kanthi lampah winados, dene tumindaking lampah, murih saderengipun angsal damel boten kawiyaking mengsah, dipun sakajengaken Ki Demang piyambak, kadospundi prayoginipun, babasanipun : amek iwak aja buthek banyune. Menggah wigatosing lampah sampun kadhawuhaken, inggih punika mundhut konduripun pusaka Dalem Kanjeng Kiyai Jabardas ingkang kadusta dening Tumenggung Sruni, ingkang sapunika ambalela, sarta sampun murwani ngelar jajahan, punapadene sumedya ngrabaseng Mataram.

Ki Demang sanget pangunguning manah, sarta matur sandika badhe ngestokaken punapa sadhawuh timbalan Dalem wau, boten sanes namung nyuwun pangestu Dalem Nata, mugi-mugi sadaya dhawuh Dalem Ingkang Sinuwun saged katindakaken sarta angsal damel. Sareng sampun boten wonten ingkang winiraos, Ki Demang nyuwun palilah mantuk, badhe tata-tata boboyongan saanak semahipun dhateng Kutawinanngun.

Enggaling cariyos Ki Demang sampun dumugi ing Kutawinangun, dipun tampi dening para titiyang ing ngriku kanthi bingahing manah, dene ing Kutawinangun dipun tanemi Demang saking Mataram, pangintenipun temtu wadyabala Sruni boten sami wani anggecak ing Kutawinangun, dene saupami puruna, temtu ing Kutawinangun binantonan saking Mataram.

Sareng Ki Demang Sutawijaya anggenipun gigriya wonten ing Kutawinangung sampun angsal sawatawis sawulan, ing satunggiling dinten Ki Demang sowan dhateng Kabupaten Sruni, matur dhateng Mas Tumenggung Kertinegara, asengadi bilih sowanipun wau perlu ngupados pangengeran, dados kesahipun Ki Demang saking Mataram dhateng Kutawinangun wau namung ngungsekaken gesang, jalaran saking tinundhung dhateng Ingkang Sinuwun, mangke boten rumaos dosa punapa-piunapa. Dene anggenipun keraya-raya ngungsi gesang dhateng wewengkoning Kabupaten Sruni, margi mireng loking titiyang Mataram punapadene bakul sinambi wara, bilih pangagenging Kabupaten Sruni sanget welasasih saha lumintu dadananipun dhateng sasamining ngagesang. Awit saking punika, mila ciptaning manahipun Ki Demang wiwit nalika taksih wonten ing mataram, boten wonten malih kajawi panjenenganipun Mas Tumenggung ingkang saged angayomi.

Mas Tumenggung Kertinegara kakenan manahipun mireng aturipun Ki Demang Sutawijaya ingkang sajak angrerepa amaladsih wau, panggalihipun sanget trenyuh, dhasar Mas Tumenggung wau pancen berbudi ambeg legawa, welasasih ing sasami, mila pangengeripun Ki Demang wau inggih dipun tampi kanthi sukarena, sarta dipun aken sadherek sinarawedi. Pisowanipun Ki Demang wonten ing Kabupaten Sruni ngantos sadinten, ing wanci sonten saweg kemawon mantuk dhateng Kutawinangun.

Saunduripun KI Demang Sutawijaya, ingkang putra kakalih Ki kertileksana tuwin Ki Kertisentika matur dhateng ingkang rama, aturipun : rama, tutulung dhateng tiyang ingkang wajib dipun tulungi,  punika satunggaling pandamel ingkang utami, nanging sampun tilar ing weweka, sinten sumerep bilih Demang Sutawijaya wau utusan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Mataram ingkang amarasandi. Ingkang rama mangsuli : aturmu iku bener, aku uga duwe pangira, bisa kadadeyan mangkono iku, mula becik aja padha tinggal kaprayitnan.

Gancaring cariyos, saking rempit lan sagedipun Ki Demang Sutawijaya anggenipun mendhet manahipun Ki Tumenggung Sruni dalah anak-anakipun, sarehning sadaya takdir lalampahaning manungsa punika pancen boten kenging ewah, inggih sampun ndilalah dene Mas Tumenggung tuwin Ki Kertileksana punapadene Ki Kertisentika wau sami sirna sanggarungginipun dhateng Ki Demang Sutawijaya. Sami lami pasadherekanipun saya sae, supeketipun sampun kadosdene sadherek tunggil yayah rena, sampun ical kaprayitnanipun, kapitadosanipun sangsaya kandel, ngantos sadaya lampah pangembating praja punapadene anggenipun angelar tebaning tnah jajahan, ugi nedha rembagipun Ki Demang Sutawjaya. Amila pangelaring jajahan saya dangu saya kendho, margi tansah dipun alang-alagi dening Ki Demang Sutawjaya, sarana tembung ingkang sajakipun sarwa mikantukaken dhateng KI Tumenggung. Punapadene Ki Demang boten kendhat pangrekadayanipun, lampah ingkang kados pundi prayogi katandukaken murih enggal kaleksanan angsal damel anggenipun ingutus dening sang Prabu ing Mataram.


Kacariyos sareng Ki Demang Sutawijaya sampun angsal tigang taunan anggenipun dados Demang wonten ing kutawinangun, Ki Demang sasemahipun katimbalan dhateng Sruni, ugi lajeng enggal-enggalan pangkat sowan.

Sadumuginipun ing Kapubaten Sruni, Ki Demang sasemahipun dipun panggihi wonten ing pandhapi wingking. Ki Kertileksana tuwin KI Kertisentika ugi sami tumut manggihi. Sasampunipun sami ambagekaken kawilujenganipun, KI Tumenggung lajeng paring pangandika dhateng Ki Demang jaler estri, bilih anakipun jaler Ki Demang ingkang sering dipun kengken sowan dhateng Sruni, bahde kapendhet mantu, kaangsalaken putranipun Ki Tumengung ingkang patutan saking mbok enem, nama Mas Rara Ranti.

Ces kados siniram ing toya sawindu tuwin sinawuran sekar sawakul raos bingahing manahipun Ki Demang jaler estri, sareng mireng dhawuhipun KiTumenggung ingkang makaten wau, ciptaning manah angsal pitulunganing Pangeran, kasembadanipun angsal damel anggenipun dados utusan Dalem, Kanjeng Kiyai Jabardas prasasat sampun rinegem ing tanganipun. Ki Demang lajeng matur nyumanggakaken, wontenipun namung cumadhong karsa. Punapa malih nampeni ganjaran  samanten agengipun botena anganturaken, sanadyan pejah gesangipun yen pinundhuta, enjing sontena ugi kasumanggakaken kanthi eklasing manah, boten pisan anggrantes sarambut pinara sasra. Mas Tumengggung sakaliyan langkung  rena mireng aturipun Ki Demang, dene sampun kacocogan rembagipun. Karsanipun Mas Tumengung dhawahing ndamel badhe tumunten, kantun netepaken dintenipun kemawon, samongsa sampun angsal dinten ingkang sae tumrap ijabing panganten, nanging namung sumanggeng karsa lan sanget panuwunipun, dene ngantos samanten genging sih kanugrahanipun Mas Tumenggung ingkang tanpa titimbngan, mangka Ki Demang rumaos dereng wonten lalabetanipun, Ki Demang sasemahipun nyuwun pamit mantuk dhateng Kutawinangun.

Sadumugining griya lajeng nyariyosaken dhateng anakipun jaler, yen piyambakipun badhe kapendhet mantu dhateng Mas Tumenggung Sruni. Makaten ugi Ki Demang lajeng nyariyosaken wawados ingkang taksih sinimpen, inggih punika anggenipun Ki Demang nilar ing Matram lajeng gigriya ing Kutawinangun, sajatosipun ingutus dhateng Sang Prabu, ndikakaken mundhut wngsul kagungan Dalem pusaka Kanjeng Kiyai Jabardas ingkang kadhusta Mas Tumenggung Sruni. Mila ingkang putra wineling, ing benjing amongsa ndikakaken anglurug perang dhateng Mataram, kang putra kinen motah nyuwun pusaka Kanjeng Kiyai Jabardas wau, sengadi kangge metukaken mengsah murih boten mindho damel. Ingkang putra nyandikani.

Boten kacariyos tempuking damelipun Mas Tumenggung Kertinegara amiwaha putra, gancaring cariyos putra panganten sami atut-runtut lan sampun angadhahi anak jaler klayan wilujeng, andadosaken kabingahaning bapa biyungipun, makaten ugi Mas Tumenggung Kertinegara, punapadene Ki Demng Sutawijaya.

Ing satunggaling dinten Ki Demang Kutawinangun sowan dhateng runio kados adat sasbenipun, perlu ngrembag lampahing praja, ngira tuwi putra sarta ngengetaken bab piweling ingkang sampun kawangsitaken.

Sadangunipun Ki Demang wonten ing Sruni, Mas Tumenggung tanah ngginem lan nedha pamrayogi dhaten Ki Demang, anggenipun badhe gelar jajahan mangetan, salajengipun dumuginipun ing Mataram. Ki Demang angrujuki lan badhe nyaosi babantu titiyang ing Kutawinangun ingkang pipilihan sami wanter-wanter, punapadene mrayogakaken angkating wadyabala Sruni benjing ing dinten Soma Manis ngajeng punika, margi petanganing dinten gathuking kaliyan palintangan pinanggih sae, adat yen kange nglurug perang badhe angsal boboyongan kathah. Mas Tumenggung sanget bingah lan suka panarimah, punapadene Ki Demang ndikakaken tumunten mantuk anata’a pabarisanipun ingkang badhe kabantokaken. Ki Demang lajeng mantuk gagancangn lampahipun, sadumuginipun ing Kutawinangun lajeng amepakaken titiyang ingkang badhe kabiyantokaken dhateng wadyabala Sruni.

Saunduripun Ki Demang saking Sruni mantuk dhateng Kutawinangun, ingkang putra mantu, inggih anakipun Ki Demang wau matur dhateng ingkang rama marasepuh, aturipun : rama, prakawis pangelaring jajahan tanah tanah mbang wetan dumugining ajeng-ajengan klayan mengsah wadyabala Mataram, rama boten sisah nyalirani piyambak, cekap kepasrahan para putra kemawon, kados boten badhe nguciwani.

Ingkang rama mangsuli : aku iya wus prcaya marang kaprawiranmu lan marang kakangmu karo pisan, kaya-kaya wus padha bisa ngentasi gawe, nanging aja pisan nyepelekake mungsuh, apadene sakabehing tindak aja ninggal ing kautaman. Ingkang putra matur : pangestunipun rama kemawon ingkang kula suwun, mugi-mugi sageda nglampahi punapadene saged angsal damel. Iya, dakpangestoni, muga Pangeran anyembadanana, ing siki dak lilani mundur, tumuli tata-tataa saperlune, nuwun inggih sandika. Ingkang putra nyuwun pamit mundur, badhe tata-tata tuwin rerembagan kaliyan ingkang estri.

Ing wanci enjing umun-umun, nglajengaken angkating para wadyabal ing Sruni anggenipun badhe perang, putranipun estri Mas Tumenggung marak ingkang rama klayan ngemban anakipun ingkang maksih jabang, wigatosipun dipun kengken ingkang jaler bapakipun bayi, perlu nyuwun pusaka wngkingan Kanjeng Kiyai Jabardas, supados saged unggul perangipun. Yen Kanjeng Kiyai Jabardas boten kaparingaken, ingkang putra bapakipun bayi sumedya anglampus dhiri, jalaran boten wandhe inggih badhe pejah wonten ing Mataram, tinimbang pejah wonten Mataram aluwung pejah ing samangke wonten Sruni tinengganan dening semah. Kados makaten punika Sruni atur piwelingipun ingkang putra, mila manawi rama boten maringaken panyuwunipun, kula inggih boten purun kantun badhe ngayut tuwuh, dados ingkang wayh bayi badhe lola, boten tinengganan bapa biyung.

Kados punapa kemawon jibenging nggalihipun Mas Tumenggung sareng mireng ingkang putra. Yen kinekahana, badhe kecaln putra ingkang saweg kemawon gadhah anak taksih jabang. Yen kaparingaken tentu badhe kapatrapan paukuman wasesaning Nata punapa sadosanipun, anglengkara yen Ingkang Sinuwun Mataram amaringan pangapunten.

Ki Tumenggung boten kasamarn malih, bilih pamotahing anakipun mantu nyuwun Kanjeng Kiyai Jabardas wau tentu saking pakenipun Ki Demang Sutawijaya, dados Ki Demang wau mengsah amara sandi utusaning Sang Prabu Mataram.

Pupuntoning manah, sarehning Ki Tumenggung sampun rumaos dosa, margi kumapurun cidra dhateng Ratu gutinipun, punapadene sampun rumaos sepuh, mila Kanjeng Kiyai Jabardas inggih badhe kaparingaken dhateng putranipun mantu. Amargi saking konduripun Kanjeng Kiyai Jabardas konjuk ing ngarsanipun Ingkng Sinuwun Kanjeng Susuhunan, punika ingkang dados lantaran dhawahing kamulyanipun ingkang putra mantu wan. Dados samboten-botenipun, ing wuri turunipun Ki Tumenggung taksih nglajengaken sami manggih kamulyan. Menggah pidananipun Sang Prabu ingkang badhe kasandhang, badhe dipun tampi kalayan suka rena tuwin eklasing manah, minangka panumbasing kamuktenipun anak putu ing tembe wingking.

Sasampunipun anggelengaken tekad makaten, Kanjeng Kiyai Jabardas lajeng kaparingaken dhateng putranipun mantu. Sareng ingkang putra mengker, Ki Tumenggung lajeng dhawuh dhateng putranipun kakalih, kinen anyandhekaken anggenipun badhe ngelar jajahan mangetan, sabab temtu boten saged nanggulangi wadyabala Mataram, amargi Kanjeng Kiyai Jabardas sampun oncat saking Sruni. Ingkang putra kaklih kinen sami mupus papasthening Pangeran. Putra kakalih sanget cuwaning manah, badhe nglajengaken panglurugipun ajrih dhateng ingkang rama.

Sareng Kanjeng Kiyai Jabardas sampun katampen dhateng putranipun mantu, enggal-enggal Kanjeng Kiyai Jabardas wau lajeng katampekaken dhateng bapakipun, inggih punika Ki Demang Sutawijaya. KI Demang sanget cumemplonging manah, dene sampun angsal damel anggenipun dados utusaning Nata.

Kacariyos saweg kemawon Ki Demang wiraosan badhe sowan dhateng Mataram, angunjukaken pusaka Dalem Kanjeng Kiyai Jabardas, dereng ngantos kalampahan, katungka kraman Trunajayan.

Ingkang Sinuwun lolos saking Kadhaton, kadherekaken putra Dalem Kanjeng Gusti Pangeran Adipati tuwin Pangeran Puger, punapadene para prajurit sawatawis pipilihan. Jengkar Dalem mangilen, wadyabala kraman tansah angodol jengkar Dalem ing sapurugipun. Sareng kraman Trunajayan anggenipun ngodol jengkar Dalem Ingkang Sinuwun dumugi tepis wiringing Panjer, lajeng kapethukaken dening wadyabala Sruni, katindhihan Ki Kertileksana tuwin Ki Kertisentika, kabiyantu dening Ki Demang Sutawijaya saanakipun sarta titiyang ing Kutawinangun. Tempuking wadyabala Trunajayan lan Kertinagaran sakalangkung rame, gentos unggul gentos katitih, dangu-dangu wadyabala Trunajayan kasoran juritipun. Sakantuning wadyabala ingkang pejah, sami lumajar rebut ducung asalang tunjang angungsekaken gesang, saklangkung ajrih dhateng pangamuking prajurit Kertinagaran.

Sasirnaning kraman Trunajayan, Ki Demang Sutawijaya lajengan kemawon anusul jengkaripun Sang Prabu, ingkang ing wektu punika lerem amakuwon wonten ing Banyumas, amargi Ingkang Sinuwun lajeng ketaman gerah. KI Demang munjuk ing ngarsa Dalem Ingkang Sinuwun, bilih anggenipun ingutus saged angsal damel, pusaka Dalem Kanjeng Kiyai Jabardas saged karebat malih sarana aris.

Ing sarehning abdi Dalem pun Tumenggung Kertinagara sapunika sampun dados besan, punapadene sampun angrumaosi dosanipun, anggenipun kumawani ing panjenengan Dalem Nata. Panebusing dosa, Ki Tumenggung anyorohaken pejah ambelani Ngarsa Dalem Ingkang Sinuwun, inggih punika ngamuk punggung methukaken kraman Trunajayan ingkang ngodol ambujeng jengkar Sang Nata. Pamethukipun Ki Tumenggung sareng kraman sampun caket sanget kaliyan jengkar Dalem Ingkang Sinuwun, inggih punika wonten tanah Panjer inggih ing Sruni. Perangipun sakalangkung rame, acampuh perang kalih dinten, tinindhihan anakipun KI Tumenggung kakalih pisan tuwin abdi Dalem anak kula, meksa dereng wonten ingkang katingal asor unggulipun. Sareng dinten ingkang kaping tiganipun abdi Dalem Ki Tumenggung Kertinagara, tutulung anarambul angungsir mengsah, boten watawis dangu wadyabala kraman sirna larut. Ing sapunikanipun Tumenggung Kertinagara taksih apacak baris, angerigaken wadyabalanipun mangetan dumugi ing tanah Semawung, anjagi bilih wadyabala kraman angsal babantu majeng malih panempuhipun.

Awit saking punika, mugi wontena keparenging karsa Dalem Ingkang Sinuwun, amaringana pangapunten sadosanipun abdi Dalem pun Tumenggung Kertinagara wau. Awit Ki Tumenggung sampun kayekten kawanteranipun anglangkungi ing sasami, kenging kinanthi ing panjenengan nDalem Nata, sayekti langka angupadosa ingkang kados abdi Dalem pun Tumenggung Sruni wau. Makaten ugi Ki Tumenggung sampun aprasetya, bilih ing Mataram kaancikan parangmuka, Ki Tumenggung suka ingaben angrabaseng mengsah, dadosa tatawur lamaking ngajurit, inggih makaten punika prasetyanipun abdi Dalem pun Tumenggung Kertinagara.

Ingkang Sinuwun sanget pirenaning galih midhanget unjukipun Ki Demang Sutawijaya, dene kagungan Dalem pusaka wangkingan Kanjeng Kiyai Jabardas sampun saged kondur, langkung malih sareng midhanget prasetyanipun Tumenggung Kertinagara, ingkang lajeng saged angunduraken kraman, sanalika gerah Dalem saged senggang. Dhawuh timbalan Dalem, pusaka Dalem Kanjeng Kiyai Jabardas ndikakaken nyaosaken dhateng putra Dalem Kanjeng Gusti Pangeran Pati.  Wondene Ki Tumenggung Kertinagara ugi pinaringan pangapunten, punapadene dhawuh timbalan Dalem sadaya tanah ing sakiwa tengen Sruni ingkang sampun karebat dening Ki Tumenggung kalestantunaken dados bawahan ing Sruni, punapa dena Ki Tumenggung Kertinagara lajeng jinunjung lenggah dados Wedananing para Bupati ing tanah Panjer, Roma, Semawung lan Ledok, nama lestantun, nanging kapareng ngangge sesebutan Raden,dados nama : Raden Tumenggung Kertinagara, Wadananing para Bupati mbang kilen ing tanah Panjer, Roma, Semawung tuwin Ledok. Namung kemawon ing saben taun Tumenggung Kertinagara kedah saos bulubekti lan seba dhateng Mataram kados ingkang sampun.

Ki Demang Sutawijaya sampun kalilan mantuk dhateng Kutawinangun, ananging sarehning gerah Dalem Ingkang Sinuwun katingal kimat malaih, malah mindhak dinten gerah Dalem saya santer, mila Ki Demang dereng purun mantuk.

Kacariyos gerah Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan madal saliring jajampi, boten antawis dinten Ingkang Sinuwun dumugi ing janji surud kondur ing jaman kanirwanan. Surud Dalem wonten ing tanah Banyumas, kasarekaken  wonten ing Tegalarum tanah Tegal, margi saking pamudhut Dalem piyambak nalika gerahipun. Dhawuh Dalem dhateng putra Dalem Kanjeng Gusti Pangeran Pati, bilih salira Dalem surud, mundhut kasarekaken ing papan ingkang sitinipun angganda arum. Dene pinanggihipun siti ingkang angganda arum wau wonten ing dusun Talang (tebihipun saking ing griya Kabupaten Tegal watawis tigang pal). Pasareyan Dalem wau lajeng nama Tegalarum, kapendhet ing papan riku sitinipun angganda wangi.
                                                      
Boten antawis dinten saking surud Dalem Ingkang Sinuwun, Ki Demang Sutawijaya gagancangan mantuk dhateng Kutawinangun. Saking bingah-bingahing manah, Ki Demang notol daya-daya badhe papanggihan kaliyan Mas Tumenggung Kertinagara ingkang angsal sih Dalem ingapunten sadosanipun, punapadene jinunjung apangkat Wadananing Bupati saha kapareng ngangge sesebutan Raden.

Mila antukipun Ki Demang boten terus anjujuk ing Kutawinangun, nanging mampir rumiyin sowan Raden Tumenggung Kertinagara ing Sruni.

Jujuling kabingahing manah, Ki Demang boten kenging ingampet, mila sareng dumugi ing ngajengipun Raden Tumenggung Kertinagara, Ki Demang lajeng angrungkebi pangkonipun Raden Tumenggung sarwi nangis anggelolo. Ki Tumenggung bela tangis, ciptaning manah badhe nemahi bilahi, anampeni paukuman pidananing Nata, Ki Tumenggung manunggilaken manah sumarah ing Pangeran.

Sasampunipun sareh tuwin tumata manahipun, Ki Demang andhawuhaken timbalan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan, menggah saking kaparenging karsa Dalem, Mas Tumenggung Kertinagara kajawi ingapunten dosanipun, ugi jinunjung dados Wadananing Bupati mbang kilen, nama lestantun sarta kapareng ngangge sesebutan Raden. Dene lenggahipun angenemi Bupati Banyumas Raden Tumenggung Yudanagara. Bawahanipun para Bupati, miturut tanah-tanah ingkang sampun karebat dening KI Tumenggung, inggih punika : Panjer Roma lan Ledok, punapadene ambawahaken para Bupati ing tanah Semawung minangka ganjaran anggenipun sampun angunduraken kraman Trunajayan. Anamung kemawon Ki Tumenggung ing saben taun kedah seba sowan dhateng Mataram, anyaosaken bulubekti kados ingkang sampun, punapadene kagungan Dalem pusaka Kanjeng Kiyai Jabardas kapundhut kondur dhateng Karaton.

Raden Tumenggung Kertinagara sanget suka sukur ing Pangeran, sarambut pinara sastra boten nginten yen kados makaten kadadosanipun. Ing suwau rinten ndalu boten wonten malih kajawi namung enget pamancasing paukuman nDalem panjabuding nyawanipun. Mila kados punapa kemawon bingahing manahipun Ki Tumenggung, sayekti boten wonten pipindanipun. Raden Tumenggung Kertinagara mangsuli dhateng Ki Demang, boten nginten yen badhe nampeni sih Dalem ingkang samanten agengipun, mila sadaya dhawuh timbalan nDalem ingkang Sinuwun badhe kaestokaken, lan sanget sembah nuwun, sarta aprasetya boten pisan-pisan badhe anindakaken malih lalampahan kados ingkang sampun-sampun.

Ki Demang Sutawijaya wonten Kabupaten Sruni nyipeng sadalu, enjingipun nyuwun pamit mantuk dhateng Kutawinangun, andadosaken bingahing para kulawarga.

Kacariyos kraman Trunajaya sampun boten katingal muncul malih, bawah Kabupaten Sruni sampun tentrem. Ingkang ngembat ruwet rentenging Nagari putra kakalih Ki Kertileksana tuwin Ki Kertisentika, kabiyantu Ki Demang Sutawijaya, inggih Ki Demang punika ingkang minangka sesepuhipun. Margi Ki Demang wau alus bubudenipun, saged ngemong kawula, dhasar wegig ing agal lembat, sinembuh Raden Tumengung Kertinagara wawatakanipun berbudi balaba suka dadana asih tresna dhateng kawula kathah. Andadosaken karaharjaning tanah Kabupaten Sruni sabawahipun sadaya, tetep loh jinawi mirah sandhang boga. Mila lajeng kathah tiyang saking mbang kilening tanah Roma, inggih punika saking tanah Banyumas saanteronipun ingkang sami pindah panggenan dhateng bawah Kabupaten Sruni.

Raden Tumenggung Kertinagara manahipun sampun sumeleh, sarta rumos marem nampeni sih Dalem wisudan apangkat Wadananing Bupati, makaten punika boten liya saking Ki Demang Sutawijaya lantaranipun, mila dhateng Ki Demang saya sanget sihipun, dhasar sampun dados besan. Pangembat panindaking Nagari boten tilar rembugipun Ki Demang Sutawijaya, dene Ki Demang inggih sanget bektinipun, dhasar cocog mamanahipun, sami dene alusing bubuden lan rahayu mamanahipun.

Ingkang wektu punika kakancingan nDlem katetepaning pangkat Wadananing Bupati tuwin sesebutan, Raden, saking Mataram dereng kaparingaken, margi katungka saking surud Dalem Ingkang Sinuhwun Kanjeng Susuhunan Prabu Mangkurat Agung.

Sakondur Dalem Kanjeng Gusti Pangeran Adipati saking Tegalarum anyarekaken layoning rama Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Prabu Mangkurat Agung, sarta sareng Kanjeng Gusti Pangeran Adipati sampun jumeneng Nata ajujuluk Ingkang Sunuwun Kanjeng Susuhunan Prabu Mangkurat, kakancingan Dalem wisudan Tumenggung Sruni kaangkat dados Wadananing para Bupati mbang kilen nama Raden Tumenggung Kertinagara, saweg kemawon saged amaringaken

Kacariyos wiwahaning kepyakan katetepaken Wadana Buoati, kasarengken kaliyan mikramakaken putranipun estri Raden Tumenggung Kertinagara ingkang wuragil saking garwa sepuh, nama Mas Rara Rinten, kaangsalaken Ki Kramaleksana anakipun K Kramayuda ugi Sruni.

Boten kacariyos roroncenipun wiwahan, ing ngriki namung kacariyosaken, bilih para Bupati sahandhahanipun ingkang kalebet bawahan Sruni, ugi sami sowan angestreni wiwahan wau, punapadene ugi kajenengan utusan ndalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan, mila sakalngkung rame, ngantos 3 dinten 3 ndalu saweg bibaran.

Antawis kalih wulanan kaliyan anggenipun mikramakaken putra, Raden Tuenggung Kertinagara kadherekaken Ki Demang Sutawijaya, punapadene ingkang putra mantu Ki Kramaleksana, sowan seba ing ngarsa Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan ing Kartasura (Karaton ndalem sampun pindhah saking Mataram dhateng Kartasura), angunjukaken upeti bulubekti wulu wedaling kagungan nDalem tanah Panjer. Punapadene angabdekaken anakipun mantu, ingkang saweg kalih wulanan pinanggihan kaliyan anakipun estri, nama Kramaleksana.

Saking kaparenging karsa Dalem, pangabdinipun Ki Kramaleksana katampi, dhawuh timbalan nDalem, Ki Kramaleksana kapatedan dados mantri Pamajegan ing Klegenkilang, wewengkon Kabupaten Sruni, sesebutanipun Ngabei, nama lestantun, dados tetep nama Ngabei Kramaleksana.

Sareng pisowanipun Raden Tumenggung Kertinagara sampun angsal pendak dinten, dhawuh timbalan nDlem, abdi Dalem Tumenggung Kertinagara saanakipun kalilan mundur mantuk dhateng Sruni. Sadumugining griya, ingkang putra mantu Ngabei Kramaleksana tumunten kinen mangkat boboyongan dhateng Klegenkilang (ing sapunika katelah dhusun Selang tebihipun saking Sruni watawis 3 pal, saking kita Kebumen 1 pal tebihipun), nglampahi ayahan nDalem dados abdi Dalem Mantri Pamajegan.

Sareng ingkang jumeneng Nata ing Kartasura Ingkang Sinuwun Kanjeng Susuhunan Prabu Mangkurat Jawi, Raden Tumenggung Kertinagara tuwin Ki Demang Sutawijaya sami dumugi ing janji, mantuk ing jaman kalanggengan.

Anak ingkang sepuh Ki Kertileksana anggentosi kalenggahanipun Bupati, nama Raden Tumenggung Kertinagara II, nanging boten madanani bupati, dados namung Tumenggung limrah. Dene ingkang rayi Ki Kertisentika dados agul-agul manggalaning wadyabala, tuwin mangreh ubeng-ingering paprentahanan Nagari. Punapadene ingkang anggentosi Demang ing Kutawinangun, anakipun jaler Ki Demang Sutawijaya, inggih putra mantunipun Raden Tumenggung Kertinagara I.

Kacariyos Raden Tumenggung Kertinagara II sanget cuwaning manah, dene boten saged tetep anggentosi kalenggahanipun ingkang rama dados Wadananing Bupati, margi pangkat Wadana Bupati ing mbang kilen kadadosaken satunggal wonten Banyumas.

Ing sarehning Raden Tumenggung Kertinagara II rumaos mimpang unggul tinimbang kaliyan Raden Tumenggung Yudanagara ing Banyumas, ing bab samudayanipun prakawis ulah kaprajan tuwin gunakasantikanipun, mila Raden Tumenggung Kertinagara II boten purun kaereh dhateng Banyumas. Makaten ugi para Bupati ingkang rumiyin anglurah dhateng Sruni, ugi terus taksih kabawah dhateng Raden Tumenggung Kertinagara II sarta kaawisan boten kenging sowan, agengipun purun nglampahi saprentahipun Bupati Banyumas, bilih boten wonten ingkang wani nerak, badhe dipun telasi. Mila inggih boten wonten satunggal-satunggala Bupati tanah Sruni ingkang wani sowan dhateng Banyumas, dados taksih tetep panglurahipun dhateng Raden Tumenggung Kertinagara II ing Sruni.

Raden Tumenggung Yudanagara sampun mireng bab punika, mila lajeng utusan dhateng Sruni, angengetaken dhateng Raden Tumenggung Kertinagara II, sampun ngantos kalajeng-lajeng tindakipun ingkang makaten punika. Menawi boten purun mantuni, badhe kalapuraken dhateng Nagari Kartasura.

Sareng Raden Tumenggung Kertinagara II nampeni utusan saking Banyumas, sanget bramantya, ing Banyumas ginecak ing prang tan mangsa puliha.

Raden Tumenggung  Yudanagara oncat anyilibaken bala, terus sowan dhateng Kartasura ngujuki wuninga ing Sang Prabu. Dhawuh timbalan nDalem ingkang Sinuwun, Tumenggung Yudanagara ndikakaken wangsul sarta angirid wadyabala ing Kartasura anglawan yudanipun Tumenggung Kertinagara II ing Sruni.

Sareng wadyabala Kartasura dumugi ing tanah Semawung lajeng kapethukaken wadyabala Sruni, nanging karoban lawan, lajeng kaunduran. Sareng sampun dumugi ing Kutawinangun lajeng acampuh prang sakalangkung rame. Perang sampun sawulan laminipun, taksih katingal rame purunipun, gentos unggul gentos kalindhih, yen sonten kendel, enjing kawiwitan malih.

Sareng perangipun dumugi ing Sruni, ing ngriku perang rerempon, angantep sageda mungkasi karya salah satunggalipun. Wadyabala Kartasura katingal kaseser, kathah kalongipun, tumenggung Yudanagara ing Banyumas ngical. Ananging lajerng katungka dhatengipun wadyabala babantu saking Kartasura. Wadyabala Sruni karoban lawan. Raden Tumenggung Kertinagara II kenging mriyem pupunipun, kabuncang sumangsang ing wit lo, sariranipun boten pasah, nanging pepes sukunipun.

Ki Kertisentika angantep perangipun, nanging ugi kaplajar, boten kuwawi nanggulangi pamuking wadyabala ing Kartasura, margi karoban lawan. Wadyabala Sruni sareng sumerep Raden Tumenggung Kertinagara tuwin Ki Kertisentika boten katingal, lajeng sami bibar lumajar asalang tunjang. Wadyabala Sruni sampun sirna larut, paprangan kendel.

Ing wanci ndalu Lurah Prajurit nama Ki Sutamanggala, madosi Ki Kertisentika, sareng sampun pinanggih, lajeng matur manawi ingkang raka Raden Tumengung Kertinagara nandang brana, margi kenging mriyem. Ingkang raka kabuncang sumangsang wonten ing wit lo boten saged mandap, margi pepes sampeyanipun. Panjenengan sampeyan sapunika katimbalan ingkang raka, sarenga salampah kula sapunika ugi, dhawuhipun ingkang raka wantos-wantos sanget.

Ki Kertisentika sareng mireng aturipun utusan lajeng duka, awit Ki Kertisentika boten pitados yen ingkang raka nandang brana, margi ingkang raka sanget wentala boten tedas saliring dadamel.

Ki Sutamenggala cangkelak wangsul, lajeng matur dhateng Raden Tumenggung Kertinagara, manawi ingkang rayi Ki Kertisentika boten purun dipun timbali malah kula dipun dukani kakinten damel-damel, margi ingkang rayi boten pitados yen paduka nandang brana, sabab ingkang sampun-sampun, sarira paduka madal saking saliring dadamel tuwin boten tedas tapak paluning gurenda.

Raden Tumenggung Kertinagara sareng mireng aturipun Ki Lurah Sutamenggala, sanget dukanipun dhateng rayi,  nanging sinamudana, lajeng dhawuh mundhut gendhong dhateng Ki Sutamenggala kakonduraken dumugi ndalem.

Sareng sampun enjing ing wanci umun-umun, para kadang warga punapadene para prajurit kathah ingkang sami sowan dhateng dalem Kadipaten angyektosaken kabrananipun Raden Tumenggung.

Kocapa Ki Kertisentika, sareng priksa titiyang kathah andalidir samargi-margi, sarta wonten ingkang raraosan bilih Raden Tumenggung Kertinagara nandang brana, Ki kertisentika anggrahita, bilih ingakng raka saged ugi leres yen nandang kanin, mila enggal-enggal sowan dhateng Kabupaten. Wusana yektos yen ingkang raka pancen kadosdene aturipun Ki Lurah Sutamenggala.

Ki Kertisentika lajeng anungkemi sampeyanipun ingkang raka sarwi udrasa, sareng sampun aring, lajeng ngrerepa nyuwun pangapunten, dene dipun timbali boten purun sowan, margi namung saking boten pitados dhateng aturipun Ki Sutamanggala. Punapadene ing wektu punika kapambeng saweg nata pabarisan sarta memulih manahipun wadyabala ingkang keplajeng, sageda sami purun mangsah perang malih.

Ki Kertisentika ngantos wongsal-wangsul anggenipun nyuwun pangapunten, nanging ingkang raka tansah kendel, boten karsa mangsuli pangandika sakecap kemawon.

Sareng sampun tita ingkang raka boten karsa ngandika punapa-punapa, Ki Kertisentika wewah kaajrihanipun, sarta rumaos wirang. Lajeng nyuwun pamit dhateng ingkang raka kaliyan matur, sarehning kalepatanipun boten dipun paringi pangapunten, Ki Kertisentika sumedya kesah saking Sruni boten kantenan puruging lamaphipun. KI Kertisentika sampun medal saking dalem Kabupaten, terus bablas kesah boten mawi mandeg tumoleh.

Boten antawis lami saking kesahipun Ki Kertisentika, Raden Tumenggung Kertinagara II dumugi janji mantuk ing jaman kalanggengan. Waris Kabupaten cuthel ing Sruni namung kataneman Demang, ingkang kakarsaken dados Demang Ki Lurah Sutamanggala, ingkang suwaunipun dados Lurah prajurit. Namanipun tetep, dados nama Ki Demang Sutamanggala. Dene anakipun Ki Kertisentika, boten purun kadadosaken Demang, mila pangkat Demang lajeng dhawah dhateng Ki Sutamenggala.

Mangsuli Ki Kertisentika, lampahipun saking Sruni ngaler ngilen, nurut peperenging redi sarta anasak wana. Sareng lampahipun dumugi satengah-tengahing wana Sirnabaya, boten saged nglajengaken lampahipun, margi sampun kadalon, lajeng kendel wonten ngriku kaliyan ngasokaken sarira, tuwin manah-manah kadospundi prayoginipun ingkang badhe linampahan. Wonten ing satengahing wana Sirnabaya ngatos 9 dinten 9 ndalu boten neda punapa-punapa, kajawi kala-kala neda woh-wohan pmedaling wana ngriku kangge jampi salit.

Ing satunggaling ndalu ngajengaken gagatrahina saweg kemawon Ki Kertisentika saged ngeremaken mripatipun, ranjang-ranjang Ki Kertisentika ruimaos kadhatengan bapakipun, inggih punika Raden Tumenggung Kertinagara I, perlu ndhawuhi supados Ki Kertisentika tumunten nglajengaken lampahipun dhateng Kabupaten Roma, manggihana Ki Tumenggung lan mituruta ing sapakenipun, ing tembe badhe sae kadadosanipun.

Ki Kertisentika anjenggirat, sareng sampun pramana, lajeng nilar wana Sirnabaya, badhe nglajengaken lampah dhateng Roma, nglampahi pakening tiyang sepuhipun.

Lampahipun Ki Kertisentika saking wana Sirnabaya purugipun ngidul ngilen. Sadinten muput ing wanci sonten sampun dumugi ing Roma, ugi sampun papanggihan kaliyan Mas Tumenggung.

Sasampunipun bage-binage kawilujengan, Ki Kertisentika ngaturaken kakawonanipun ing Sruni nanggulangi pngrabaseng wadyabala Kartasura. Ing salajengipun Ki Kertisentika oncat saking Sruni kesah sapurug-purug tapa wonten ingkang sinedya. Sareng lampahipun dumugi satengahing wana Sirnabaya, saweg kemawon saged tilem saliyepan, rumaos kadhatengan ingkang rama, asung piweling supados anglajengken lampah dhateng ing kabupaten Roma ngriki, ujaring wangsit ing tembe badhe sae kadadosanipun, ing sapunika sampun kula leksanani, wusana namung nyumanggakaken.

Mas Tumenggung Roma sakalangkung pangungunipun sarta kararantaning manah, ketang saking welasipun dhateng Ki Kertisentika pangajenging perentah ing Sruni, dados tilas lulurahipun, lajeng rinapu ing basa, sampun sirna sungkawanipun, mupus papastening Hyang Kang Murbeng Jagad.

Boten antawis lami KI Kertisentika kapendhet mantu dhateng Tumenggung Roma, nama pindah Ki Kertiwijaya. Minongka sasambening padamelan, Ki Kertiwijaya kadadosaken Mantri Gunung, nanging boten purun, margi ngengeti wingi-wingi prasasat ingkang ngrgem sadaya paprentahan ing Sruni sabawahipun, sareng ingarih-arih dhateng semahipun, lajeng purun nglampahi dados Mantri Gunung wau.

Ki Kertiwijaya anggenipun jojodhowan gadhah anak satunggal estri, lajeng kaimah-imahaken angsal lurah ing dhusun Duduhan, nama Ki Kertiwecana. Salajengipun sareng Ki Kertiwijaya tilar donya, ugi kasarakekaen wonten ing dhusun Duduhan (sakidul Karanganyar).

Mangsuili cariyos ing ngajeng, anak mantunipun Raden Tumenggung Kertinegara I, lestantun dados Demang wonten ing Kutowinangun, anggentosi tiyang sepuhipyn Ki Sutawijaya. Dene anakpun mantu ingkang nama Ngabei Kramaleksana ugi lestantun dados Mantri Pamajegan wonten ing Klegenkilang (Selang). Sareng Ngabei Kramaleksana tilar donya kasarekakaen wonten dhusun Kaliwarak (prenah sawetan Kabupaten kebumen watawis 2 pal tebihipun).

Ing ngriki prelu mratelakaken tedak turunipun Ngabehi Kramaleksana, amargi Ki Kramaleksana wau saged mijeni dharah Karaton, pratelanipun kados ing ngandhap punika :

Semahipun Ngabehi Kramaleksana punika kalih, jakasakitipun anakipun Raden Tumenggung Kertinegara I ing Sruni, kados kasebut ing nginggil. Semah enem anakipun Raden Tumenggung Wiraguna Kartasura. Saking semah kakalih wau medali anak jaler estri 15 kathahipun, inggih punika :

1.      Ngabehi Wiryakrama, mantri Gunung ing Tlagagapitan, anakipun etri kapundhut bibit dados kalangenan nDalem Ingkang Sinuwun kaping II ing Ngayogyakarta, paring nDalem nama : Bandara Raden Ayu Nilaresmi, puputra putri asma Gusti Raden Ayu Pringgadirja.
2.      mBokmas Dipayuda.
3.      Ngabehi Kramadirja, Mantri Nangkil*) Ngayogyakarta. Sareng lereh lajeng mantuk dhateng Selang (Kebumen), pindah nama Ki Kramasentika. Nanging kalimrahipun karan Ki Kramareja (taksih karan nama nalika dados Ngabehi, nanging pakecapan dirja, mingsed reja).
(* Ing Karaton nDalem Ngayogyakarta, ing samangke boten wonten abdi Dalem Mantri Nangkil. Dados sampun boten kasumerepan punapa ingkang dados kuwajibanipun Mantri Nangkil punika. Manawi nitik paring nDalem nama ngajeng mawi : Krama, punapa punika abdi Dalem Mantri Kumitir? Nyumanggakaken)
4.      Kapundhut bibit dados kalangenan nDalem Ingkang Sinuwun I, ing Ngayogyakarta, paring nDalem nama : Bandara Raden Ayu nDayahasmara, puputra :
1.      Bandara Pangeran Harya Hadikusuma.
2.      Bandara Raden Ayu Juru.
3.      Bandara Pangeran Harya Balitar
Menggah mulabukanipun dene anakipun Ngabehi Kramaleksana kapundhut dados kalangenan nDalem makaten :
Ing nalika Kanjeng Pangeran Harya Mangkubumi (Sinuwun I) andon yuda wonten ing tanah Panjer (Kebumen), Kanjeng Pangeran Harya Mangkubumi priksa lare estri ingkang taksih pinjung (watawis saweg umur 11 taun), lare wau tansah kikinthil ningali prajurit ingkang sami bandayuda, sajakipun katingal seneng sarta boten anggadhahi kaajrihan. Kanjeng Pangeran Harya Mangkubumi sareng wuninga lare estri wonten samadyaning peperangan, sasolah tingkahipun lare wau tansah dipun waspadakaken kanthi pangunguning panggalih Dalem. Lajeng utusan abdi, ndikakaken ndangu lare wau nama lan anakipun sinten. Lare kadangu, mangsuli bilih namanipun Mas Rara Ketul, anakipun Ki Kramaleksana, lah punika bapak ingkang udeng wulung nyepeng waos mlajar mangilen ngoyak mengsah. Abdi utusan nDalem wau lajeng enggal wangsul munjuk ing Gustinipun punapa saaturipun lare estri wau. Temah andadosaken renaning panggalih Dalem, langkung-langkung dene lare estri wau anakipun Ki Kramaleksana, ingkang sampun kathah lalabetanipun, sadangunipun prajurit Mangkubumen ngebroki tanah Panjer lan sakiwa tengenipun. Cekakipun lare wau kasengker, samongsa sampun diwasa, dhawuh Dalem ndikakaken ngunjukaken, Ngabehi Kramaleksana nyumanggakaken kanthi bingahing manah ingkang tanpa upami. Sareng Kanjeng Pangeran Harya Mangkubumi sampun jumeneng Nata ing Nagari Ngayogyakarta, sedheng Mas Rara Ketul wau sampun mangsa diwasa, lajeng kaunjukaken. Sasampunipun dados kalangenan nDalem, saking keparenging karsa Dalem, Mas Rara Ketul wau lajeng kaparingan nama Bandara Raden Ayu nDayahasmara. Karsa Dalem paring nama wau ngampung masa, margi soking rena utawi kasmaraning panggalih Dalem, jalaran kadayan mriksani ing ngatasing lare estri taksih pipinjungan, wani tutwuri bapakipun wonten samadyaning rananggana. Kang mangka sanadyana tiyang jalera pisan, temtu ajrih lan sami nilar bale wismanipun samongsa ing sacelaking griyanipun kangge papan ajanging paprangan.
5.      mBokmas Kramayuda.
6.      Ki Secawijaya, sareng dados Mantri Nangkil ing Ngyogyakarta, anggentosi saderekipun jaler (anak angka 3), lajeng nama Ngabehi Kramadirja.
7.      Ki Kramadiwirya.
8.      Ngabehi Resadirja, semah angsal buyut Mangkunegaran Sambernyawa Surakarta.
9.      Ngabehi Kramataruna.
10.   Ki Kramatirta.
11.   Ki Resadiwirya
12.   mBokmas Wiryayuda (Setrareja).
13.   Mbokmas Resapraja (Kramasentika).
14.   Ki Honggawijaya, sareng dados Mantri, nama Ngabehi Kramayuda, semahipun saking Surakarta, anggadhahi anak jaler nama Ngabehi Jayapranata, pawingkingipun dados Patih Mangkunegaran. Anakipun estri Ngabehi Jayapranata  kapundhut bibit dados kalangenan nDalem Kanjeng Gusti Pangeran Mangkunagara kaping III, sinung nama : Mas Ajeng nDayaresmi, puputra kalih :
1.      Raden Mas Suryahandaka.
2.      Raden Ajeng Kuning, krama angsal Kanjeng Pangeran Harya Gandahatmaja. Dene Kanjeng Pangeran Gandahatmaja wau putranipun Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Mangkunagara kaping IV ing Surakarta.
15.   Mbokmas Jawidenta.


Para anak-anakipun Ngabehi Kramaleksana kasebut ing nginggil, anak angka 1 dumugi 5, patutan saking mbok sepuh, anakipun Raden Tumenggung Kertinagara I, ing Sruni. Dene anak angka 6 dumugi 15 patutan saking mbok nem, anakipun Raden Tumenggung Wiraguna ing Kartasura.

Kajawi punika ugi wonten ingkang cariyos, bilih Ngabehi Kramaleksana wau semahipun sadaya 3, semah ingkang enem piyambak wonten ingkang mastani saking Ngayogyakarta, pundi ingkang leres nyumanggakaken. Jalaran ing baboning babad punika, ingkang ugi ngewrat sarasilah cekak, ingkang pinanggih wonten ing tanah Panjer (Sruni), boten nyebutaken bilih semahipun Ngabehi Kramaleksana wonten 3. Nanging namung 2 kados kasebut ing nginggil.

Punapadene manawi miturut sarasilah babon kagunganipun Kanjeng Raden Harya Adipati Danureja kaping V ing Ngayogyakarta, ingkang lajeng asma Kanjeng Pangeran Juru, sarasilah wau boten nyebutaken semahipun Ngabehi Kramaleksana. Ing ngriku namung nyebutaken para anak-anakipun kemawon, nanging cacahipun namung 12, dados kirang 3, kaliyan yen miturut sarasilah kasebut ing babad punika. Dene kirangipun ingkang dereng kasebutaken inggih punika :
1.      mBokmas Dipayuda, anak angka 2.
2.      mBokmas Resapraja (Kramasentika) anak angka 13
3.      mBokmas Jawidenta, anak angka 15. Pundi ingkang leres ugi nyumanggakaken.

Miturut kasebut ing nginggil wau, turunipun Ngabehi Kramaleksana ingkang nerahaken dharah Karaton wonten kalih, ingkang nerahaken dharah Mangkunegaran satunggal. Inggih punika anak angka 4, kapundhut dados kalangenan nDalem Ingkang Sinuwun kaping I ing Ngayogyakarta. Lajeng putu, anakipun Ngabehi Wiryakrama (anak Kramaleksana angka 1) kapundhut dados kalangenan nDalem Ingkang Sinuwun kaping II ing Ngayogyakarta. Sarta buyutipun, turunan saking anak angka 14, kapundhut kalangenan Kanjeng Gusti Pangeran Harya Mngkunagara kaping III ing Surakarta.

Kajawi punika sadherekipun estri Ngabehi Kramaleksana ugi kapundhut bibit dados kalangenan nDalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan kaping I ing Ngayogyakarta, paring nDalem nama : Bandara Raden Ayu Turunsih, puputra :
1.      Bandara Pangeran Harya Mangkukusuma.
2.      Bandara Raden Ayu Tumenggung Danunagara. Dene Raden Tumenggung Danunagara wau, putranipun Kanjeng Raden Hadipati Danureja kaping I Papatih dalem ing Ngayogyakarta, dene sajarahipun makaten :


Sejarah Ngabehi Kramaleksana tuwin Bandara Raden Ayu Turunsih.

Prabu Brawijaya Maospait pungkasan nerahaken :
1.      Raden Jaka Lancing (Harya Surengbala utawi Maduretna), mertapa wonten ing redi kenap tanah Panjer (Kebumen).
2.      Kyai Aden, ing Sruni (Kebumen).
3.      Kyai Sutamenggala, ing Sruni (Kebumen).
4.      Kyai Sutapraja, ing sruni (Kebumen).
5.      Kyai Kramayuda, ing Sruni (Kebumen).

Ngabehi Kramayuda anggadhahi anak Ngabehi Kramaleksana tuwin Bandara Raden Ayu turunsih, kalangenan nDalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan kaping I ing Ngayogyakarta.

Dene anakipun Ngabehi Kramaleksana ingkang angka 4, Bandara Raden Ayu nDayahasmara ugi dados kalangenan nDalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan kaping I ing Ngayogyakarta. Para putra dalem ingkang miyos saking Bandara Raden Ayu Turunsih (sedherekipun estri Ngabehi Kramaleksana) tuwin saking Bandara Raden Ayu nDayahasmara (anakipun estri Ngabehi Kramaleksan) sampun sami kasebut ing nginggil.

Dene anakipun Ngabehi Kramayuda, boten namung kakalih punika, nanging taksih wonten tunggilipun malih, ingkang ing ngriki boten kasebutaken. Dene ingkang kasebutaken ing ngriki namung anak ingkang nerahaken dharah Karaton.


Sejarah Nyai Kramaleksana (mbok sepuh).

Prabu Brawijaya Maospait pungkasan anerahaken :
1.      Raden Jaka Pekik (Harya Jaranpanolih ing Sumenep).
2.      Harya Leka , ing Sumenep.
3.      Jambaleka, ing Sumenep.
4.      Ki Mas Manca, inggih Harya Mancanagara, Patih Pajang.
5.      Ki Mas Tumenggung Pramonca, ing Sruni.
6.      Raden Tumenggung Kertinagara I, ing Sruni.
7.      Nyai Kramaleksana.
Bandara Raden Ayu nDayahasmara, kalangenan nDalem Ingkang Sinuwun kaping I ing Ngayogyakarta.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls